Kabar24.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami kemungkinan keterlibatan korporasi dalam perkara suap rancangan peraturan daerah (Raperda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Kemungkinan itu muncul, setelah dalam persidangan bekas Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk. Ariesman Widjaja dan Trinanda Prihantoro menunjukkan penyuapan dilakukan Ariesman bukan atas nama pribadi, tetapi terkait dengan kepentingan pengembang soal penurunan nilai kontribusi tambahan dari 15% menjadi 5%.
Pihak korporasi dalam hal ini APLN menyangkal bahwa uang yang digunakan untuk menyuap Sanusi itu bukan berasal dari uang perusahaan. Mereka berdalih, uang suap itu uang pribadi Ariesman yang dipinjamkan ke Sanusi untuk kepentingan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
“Kemungkinan itu selalu ada, terutama soal keterlibatan korporasi dalam kasus tersebut,” ujar Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha di Jakarta, Jumat (15/7/2016).
Indikasi keterlibatan korporasi itu muncul, setelah dalam surat dakwaan Ariesman terdapat adegan pertemuan antara Sanusi dan Ariesman di sebuah tempat di Kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Ariesman memberitahu keberatannya soal besaran nilai kontribusi tambahan. Presdir APLN itu pun meminta Sanusi untuk membantunya supaya nilai kontribusi tambahan itu diturunkan. Sebagai bentuk imbalan dia bakal menyerahkan uang senilai Rp2,5 miliar.
Selain itu, dugaan keterlibatan korporasi dalam kasus suap itu juga tampak dalam pertemuan-pertemuan lainnya. Tak hanya Agung Podomoro Land, nama pengembang lain yakni Agung Sedayu Group juga diduga terlibat dalam perkara itu. Dalam agenda sidang mendengarkan keterangan saksi, Syaiful Zuhri Manager Peirizinan perusahaan pengembang itu menyatakan pernah berkomunikasi dengan Sanusi soal ‘pemberesan” anggota DPRD yang tak hadir dalam sidang. Tujuannya, raperda itu segera disahkan.
Priharsa menambahkan, salah satu pintu masuk untuk membongkar keterlibatan korporasi dalam perkara tersebut berupa bukti rapat direksi atau perintah dari pemilik perusahaan untuk melakukan lobi dan penyuapan tersebut. Namun demikian, sampai sejauh ini KPK belum bisa masuk ke ranah tersebut karena masih terkendala alat bukti. “Kalau soal kemungkinan bisa saja,” kata dia.
Menurut dia, selain alat bukti, untuk membongkar praktik kejahatan korporasi, KPK sebenarnya sudah memiliki dasar hukum yang tertuang dalan Pasal 20 Ayat 1-6 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Hanya saja, hal itu bisa dilakukan kalau ada pejabat atau penyelenggara negara yang terlibat. Sedangkan jika melakukan penyidikan independen terkait korupsi yang dilakukan korporasi KPK masih terhalang regulasi.
Fokus terkait korupsi yang dilakukan korporasi itu sebenarnya sudah menjadi fokus KPK di bawah kepemimpinan Agus Rahardjo. Kemarin, Agus menyatakan bakal memberantas korupsi di sektor tersebut. Dia berharap kedepannya ada regulasi yang menjadi jaminan bagi KPK untuk memberantas korupsi di sektor swasta.
Secara terpisah Miarni Ang Direktur Legal perusahaan berkode emiten APLN itu menyanggah soal keterlibatan mereka. Menurut dia, APLN sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kasus tersebut. Tak hanya itu dia menegaskan Ariesman melakukan pemberian uang itu dari kantong sendiri, itu pun bukan suap melainkan pinjaman.
Dia tak mau berkomentar soal keterlibatan perusahaannya dalam kasus tersebut. Menurut dia saat itu hanya diperiksa soal aset, sehingga tak berhak menjawab soal kemungkinan pembelian aset itu dari uang suap yag diberikan Ariesman. “Silakan tanya penyidik,” paparnya