Kabar24.com, JAKARTA - Dasar hukum penarikan dana kontribusi perusahaan pengembang dalam kasus reklamasi teluk Jakarta menjadi perhatian KPK.
Komisi Pemberantasan Korupsi mempertanyakan dasar hukum penarikan kontribusi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap sejumlah perusahaan pengembang.
"Kalau tidak ada peraturannya, berarti kita tanda tanya besar dong, peraturannya harus disiapkan terlebih dahulu," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (20/5/2016).
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Basuk Tjahaja Purnama alias Ahok mengakui bahwa ada "perjanjian preman" terhadap pengembang reklamasi karena tidak ada peraturan daerah (perda) yang bisa dijadikan landasan kuat penarikan kewajiban tambahan.
Menurut Ahok, kesepakatan itu dibuat berlandaskan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
"Seyogianya semua tindakan kalau tidak ada dasar hukumnya, tidak ada dasar peraturannya, itu bisa dibuat. Kalau di tingkat pusat tidak ada peraturannya, kita bisa buat perda, buat pergub, jangan kemudian kita kalau sebagai birokrat bertindak sesuatu tanpa ada acuan perundang-undangannya itu 'kan tidak boleh," kata Agus.
Menurut Agus, bila pemprov ingin menarik kontribusi tambahan, perlu dibuat perda telebih dahulu.
"Sempurnanya begitu," kata Agus saat menjawab pertanyaan wartawan mengenai keharusan pemprov membuat perda terlebih dahulu.
Agus mengatakan bahwa bila "perjanjian preman" itu masuk kategori sebagai diskresi, diskresi juga ada batasannya.
"Diskresi ada rambu-rambunya," tambah Agus.
Dalam "perjanjian preman" tersebut, empat perusahaan pengembang reklamasi, yaitu PT Muara Wisesa, PT Jakarta Propertindo, PT Taman Harapan Indah, dan PT Jaladri Kartika Pakci disebut akan membantu Pemprov DKI dalam mengendalikan banjir di kawasan utara Jakarta.
"Di situ ada keppres menyebutkan ada tiga sebetulnya. Jadi, landasannya dari situ. Satu ada tambahan kontribusi. Ada kewajiban kalau kewajiban 'kan fasum (fasilitas umum) fasos (fasilitas sosial). Ada kontribusi 5%. Di situ katakanlah ada kontribusi tambahan, tetapi enggak jelas apa. Ya, saya manfaatkan dong (untuk dibikinkan perjanjian sendiri)," kata Ahok (13/5/2016).
Menurut Ahok, khusus PT Agung Podomoro Land sudah mengeluarkan Rp200 miliar. Namun, nominal tersebut belum sepenuhnya dari nilai kontribusi tambahan yang semestinya.
"Agung Podomoro sudah serahkan berapa? Dia sudah serahkan kepada kami Rp200-an miliar. Yang sudah di-'kerjain' jalan inspeksi, rusun, tanggul, pompa, dia sudah 'kerjain'," ungkap Ahok.
Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinnsi DKI Jakarta Tahun 2015 s.d. 2035 dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta sudah dibahas sejak beberapa bulan lalu.
Namun, Pemprov DKI Jakarta dan Balegda DPRD DKI Jakarta belum sepakat karena pemprov mengusulkan tambahan kontribusi 15% nilai jual objek pajak (NJOP) dari lahan efektif pulau, seluas 58% luas pulau.
Sementara itu, sejumlah anggota Baleg DPRD mengusulkan persentase NJOP dan luasan faktor pengali yang jauh lebih kecil, sebesar 5%.
Kata sepakat antara Pemprov DKI Jakarta dan DPRD sempat tercapai saat 15% NJOP akan diatur melalui peraturan gubernur (pergub).
Namun, saat membahas konsep kedua raperda pada tanggal 22 Februari 2016 dengan perubahan Pasal 110 Ayat (13) mengenai besaran, tata cara, dan kontribusi tambahan belum disepakati kedua pihak.
KPK dalam perkara ini juga sudah mencegah keluar negeri lima orang, yaitu Sekretaris Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Berlian, karyawan PT APL Gerry Prasetya, Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Sunny Tanuwidjaya, Direktur Agung Sedayu Group Richard Halim Kusuma, dan petinggi Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan Sugianto.
Perseroan Terbatas (PT) Kapuk Naga Indah mendapat jatah reklamasi lima pulau (pulau A, B, C, D, dan E) dengan luas 1.329 hektare, sementara PT Muara Wisesa Samudera mendapat jatah reklamasi Pulau G dengan luas 161 hektare.
Izin pelaksanaan untuk PT Kapuk Naga Indah diterbitkan pada tahun 2012 pada era Gubernur Fauzi Bowo, sedangkan izin pelaksanaan untuk PT Muara Wisesa Samudera diterbitkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pada bulan Desember 2014.
Dalam perkara tersebut, KPK menetapkan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Arieswan Widjaja dan Personal Assistant PT APL Trinanda Prihantoro sebagai tersangka pemberi suap sebesar Rp2 miliar kepada Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi.
KPK menyangkakan Sanusi berdasarkan Pasal 12 Huruf a atau Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP mengenai penyelenggara negara yang patut diduga menerima hadiah dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Kepada Ariesman Widjaja dan Trinanda Prihantoro disangkakan Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau Pasal 5 Ayat (1 b) atau Pasal 13 UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.