Kabar24.com, JAKARTA—Kota Denpasar, Kota Yogyakarta, dan Kota Bandung dinilai sebagai tiga kota paling islami karena memiliki skor tertinggi untuk variabel aman, sejahtera, dan bahagia.
Maarif Institute meluncurkan Indeks Kota Islami (IKI) Indonesia dengan mengambil sampel 29 kota di Tanah Air. Variabel yang dipakai adalah aman, sejahtera dan bahagia, sedangkan skor yang digunakan adalah 0-100.
Koordinator Peneliti IKI Maarif Institute, Ahmad Imam Rais menuturkan tiga kota yakni Denpasar, Yogyakarta dan Bandung memiliki skor total yang sama dalam indeks tersebut yakni 80,64. Walaupun demikian, ketiganya memiliki skor variabel yang berbeda-beda.
"Skor tertinggi Denpasar adalah variabel kebahagiaan yakni mencapai 100. Indikator variabel itu adalah berbagi dan kesetiakawanan serta harmoni dengan alam," kata Rais dalam peluncuran IKI di Jakarta, Selasa (17/5/2016).
IKI memiliki tiga variabel dengan indikator berbeda. Ini terdiri dari aman (kebebasan beragama dan berkeyakinan, perlindungan hukum, kepemimpinan, pemenuhan hak politik perempuan, anak dan difabel); sejahtera (pekerjaan, pendapatan, kesehatan); dan bahagia (berbagi dan kesetiakawanan, harmoni dengan alam).
Skor masing-masing variabel yakni Denpasar (65 untuk aman, 76,92 untuk sejahtera, 100 untuk bahagia); Yogyakarta (77,50 untuk aman, 75,92 untuk sejahtera, 87,50 untuk bahagia); dan Bandung (77,50 untuk aman, 76,92 untuk sejahtera, 87,50 untuk bahagia).
IKI juga mencatat tujuh kota Islami lainnya dengan skor tinggi adalah Bengkulu (78,40); Pontianak (78,14); Serang (77,82); Metro (77,50); Semarang (75,58); Palembang (74,36) dan Malang (73,72).
Sedangkan sepuluh kota yang paling rendah adalah Jayapura (68,53); Banjarmasin (66,79); Palu (66,15); Pangkalpinang (65,71), Jambi (63,91). Lima kota lainnya adalah Padang Panjang (61,57); Kupang (59,39), Padang (58,37) dan Makassar (51,28).
"Dominasi pemeluk suatu agama tidak menentukan tinggi rendahnya IKI. Salah satunya, Kota Denpasar yang memiliki nilai IKI tinggi," kata Rais.
Menanggapi riset tersebut, Direktur Reform Institute Yudi Latif menuturkan hal penting lainnya yang diperhatikan adalah siapa-siapa saja kelompok yang mendapatkan keuntungan dari proses pertumbuhan ekonomi. Hal itu, sambungnya, berkaitan dengan variabel kesejahteraan.
Hal itu, sambungnya, terkait dengan akses terhadap pekerjaan maupun usaha dalam proses pembangunan. Selain itu, papar Yudi, juga penting untuk memperhatikan akses terhadap pelayanan publik hingga pasar.
"Siapa yang menerima keuntungan ekonomi dalam pertumbuhan?" kata Yudi dalam acara tersebut.
Dia juga menyarankan riset itu tak hanya meneliti data sekunder, namun juga ditambah dengan persepsi masyarakat. Yudi menegaskan riset itu sedikitnya menunjukkan bagaimana kota-kota yang selama ini mengklaim islami dengan adanya peraturan daerah syariah, justru memiliki skor rendah.
United Nations Development Programme (UNDP) sebelumnya menyatakan masalah diskriminasi agama terkait dengan kebebasan sipil menjadi persoalan yang tersebar di seluruh Indonesia dilihat dari pelbagai kasus dan peraturan daerah yang diskriminatif.
Fajar Nursahid, Manajer Proyek Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) UNDP, mengatakan walaupun tingkat demokrasi Indonesia naik dari 2013, namun masalah diskriminasi dalam konteks kebebasan sipil masih terjadi. Dalam hal ini, skor IDI pada 2014 mencapai 73,04 atau meningkat dari periode sebelumnya 63,72.
IDI merupakan indeks yang mengukur tingkat perkembangan demokrasi di seluruh provinsi di Indonesia berdasarkan tiga aspek yakni kebebasan sipil, hak politik, dan lembaga demokrasi. Skor itu terdiri dari di atas 80 (baik); 60-80 (sedang); dan di bawah 60 (buruk).
Fajar memaparkan terdapat tiga wilayah yang dominan mendapatkan skor terburuk sejak 2009—2014, yakni Sumatra Barat, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Skor terakhir kebebasan sipil periode terakhir menunjukkan masing-masing (47,21); (58,42); dan (58,73).
"Walaupun kasus itu ada di tiga provinsi, namun kasus itu menyebar di pelbagai tempat," kata Fajar beberapa waktu lalu.
Dia menuturkan masalah yang dimaksud di antaranya terkait dengan kelompok Syiah, Jemaat Ahmadiyah Indonesia atau Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), yang jauh lebih intensif, berdasarkan indeks tersebut. Intensitas diskriminasi agama, sambungnya, dianggap lebih intensif dibandingkan dengan diskriminasi terhadap gender, misalnya soal Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender (LGBT).