Bisnis.com, JAKARTA - Peneliti dari Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo meminta agar revisi Undang-undang Pilkada mempertegas batasan politik uang mengingat praktik tak terpuji itu kian canggih dilakukan calon kepala daerah.
Menurut Karyono, undang-undang yang ada saat ini tidak tegas memberi batasan soal praktik money politic. Selama ini, politik uang lebih merujuk pada kejadian saat pilkada dilaksanakan. Padahal, jauh-jauh hari sebelum pemilihan dilaksanakan, praktik money politic sudah terjadi.
Berdasarkan pengalaman dia selama di lembaga survei, praktik politik uang sudah terjadi sejak pengumpulan KTP untuk dukungan calon perseorangan.
"Dengan memberi imbalan satu KTP dukungan dengan harga tertentu maka potensi money politic sudah muncul di situ," ujarnya, Selasa (26/4/2016).
Praktik lainnya adalah pelaksanaan bazaar seperti menjual sembako dengan murah bagi para calon pemilih di daerah tertentu.
Sedangkan praktik lainnya yang jarang terpantau oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah pengganjian terhadap mereka yang mengaku sebagai relawan pendukung calon kepala daerah.
Dia mensinyalir paktik itu rawan dimainkan oleh calon kepala daerah untuk memenangkan kontestasi dengan menggaji para relawan.
Praktik ini tidak terpantau oleh Komisi Pemilihan umum maupun Bawaslu karena dilakukan jauh sebelum hari pencoblosan. Undang-undang Pilkada perlu memberi batasan yang jelas soal ini, ujarnya.
Sedangkan bentuk umum dalam money politic termasuk apa yang disebut serangan fajar, yakni memberikan uang beberapa jam menjelang waktu pencoblosan, ujarnya. Pola dan model money politic ini sangat beragam sehingga harus menjadi perhatian, ujarnya.