Bisnis.com, JAKARTA—Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan tidak mempermasalahkan laporan Djan Faridz ke pihak kepolisian yang menganggap penyelenggaraan muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Pondok Gede ilegal.
Menurut politisi dari kubu Ketua Umum PPP Romy Romahurmuziy (Romi) itu, pihaknya siap untuk menghadapi laporan itu. Sebelumnya Ketua Umum PPP hasil muktamar Jakarta, Djan Faridz mengatakan Romi telah melakukan muktamar dengan memalsukan nama PPP. Dia bersama pendukungnya tidak menghadiri muktamar itu meski sudah diundang.
"Mengapa palsu? yang menyelenggarakan muktamar itu adalah DPP PPP hasil muktamar Bandung yang memiliki legalitas surat keputusan Menkumham,” ujarnya. Selain itu muktamar tersebut adalah atas permintaan pemerintah sebagaimana tertulis dalam SK Menkumham yang meminta muktamar dilakukan bersifat rekonsiliatif, partisipatif dan adil," kata anggota Komisi III DPR itu di kompleks Parlemen, Senin (11/4/2016).
Arsul juga menyatakan bahwa proses hukum yang sedang berjalan di Mahkamah Agung terkait konflik kedua kubu, merupakan perkara perdata, bukan perkara pidana.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) telah menggelar Muktamar VIII yang berlangsung di Asrama Haji, Pondok Gede, dan Romi terpilih jadi ketua umum. Muktamar tersebut mendapat dukungan dari pemerintah setelah pembukaannya dihadiri oleh Presiden Jokowi dan ditutup oleh Wapres Jusuf Kalla.
Terkait soal dukungan kepada pemerintah, Arsul menyatakan sejak dari awal PPP memang mendukung pemerintah. Hal itu dibuktikan dengan dipilihnya Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddien dan sejumlah kader lainnya di posisi Duta Besar.
Secara terpisah Djan Faridz mengatakan jika Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) sampai mengeluarkan surat keputusan (SK) pengesahan kepengurusan hasil muktamar VIII, maka dunia hukum di Indonesia akan tercoreng. Mantan Menteri Perumahan Rakyat itu mengaku tidak akan pernah bergabung dengan kubu Romi karena Muktamar VIII ilegal.
Djan mengatakan pihaknya tidak akan menggugat hasil Muktamar VIII yang digelar selama 3 hari itu karena muktamar itu batal demi hukum mengingat sudah ada putusan MA.