Kabar24.com, JAKARTA-Ketika Oriditsi Tlou hamil pada usia 15 tahun pada 2015, neneknya -Judith Mhlongo- dengan cepat menuntut ganti rugi dan pembayaran mahar dari kekasih Tlou, yang lebih tua.
Mhlongo, wali Tlou, mengatakan masuk akal menuntut mahar, atau "lobola", untuk pernikahan tradisional, yang memungkinkan dia membarui rumahnya, sementara cucunya menjalani peralihan cepat dari anak sekolah menjadi ibu rumah tangga.
Meskipun Zimbabwe sejak tahun ini melarang pernikahan anak-anak, banyak orangtua dan wali terus melanggar aturan pernikahan tradisional di bawah umur dan mencabut tuduhan perkosaan dengan imbalan mahar, sekalipun itu sekarang membuat mereka melawan hukum.
"Saya bertahan dengan pensiun sangat kecil. Ini tidak akan masuk akal untuk merawat cucu saya ketika kita semua tahu siapa yang bertanggung jawab untuk kehamilannya," kata Mhlongo.
Dorongan baru oleh pemerintah Zimbabwe untuk mengatasi pernikahan anak bisa membuat wali seperti Mhlongo dalam kesulitan di negara Afrika bagian selatan itu, di mana pernikahan anak marak terjadi.
Diperkirakan, sepertiga dari anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, menurut UNICEF. Pegiat hak anak menggambarkan pernikahan anak sebagai bentuk pelecehan anak yang merampas anak perempuan dari haknya untuk memperoleh pendidikan, meningkatkan kemungkinan terjadinya kekerasan seksual, dan menempatkan mereka pada risiko kematian atau cedera saat melahirkan.
Pada Januari tahun ini, Mahkamah Konstitusi Zimbabwe memutuskan bahwa tidak ada seorangpun di Zimbabwe dapat melakukan pernikahan dalam bentuk apapun termasuk melalui hukum adat sebelum usia 18 tahun.
Tapi dengan pernikahan anak masih marak di daerah pertambangan dan pertanian terpencil, Wakil Presiden Emmerson Mnangagwa mengatakan kepada parlemen pekan ini bahwa amandemen undang-undang sekarang akan menarget orang tua dan wali yang menerima mahar.
"Undang-undang harus menegaskan bahwa adalah suatu pelanggaran bagi wali atau orang lain yang melakukan perjanjian lobola atau pengaturan adat atau upacara terkait seseorang di bawah usia 18 tahun," kata Mnangagwa kepada parlemen.
Anggota parlemen Jessie Majome, yang memimpin Komite Keadilan, Hukum dan Urusan Portofolia Parlemen, mengatakan jika hukum diubah, itu akan terserah pengadilan untuk memutuskan hukuman yang sesuai untuk orang tua dan wali yang melakukan perjanjian ini.
Amandemen hukum sekitar 10 tahun yang lalu menetapkan hukuman maksimum bagi siapa pun yang menerima mahar untuk seorang anak perempuan di bawah usia 10 tahun tapi pegiat ingin ini ditingkatkan.
Sementara beberapa orang tua menyambut dorongan untuk adanya hukuman yang lebih tegas, yang lain seperti Portia Ndlovu, seorang guru sekolah dasar, mengatakan penyebab pernikahan anak harus ditangani untuk membuat perubahan yang nyata.
Kemiskinan adalah kekuatan pendorong di belakang pernikahan anak-anak di Zimbabwe. Orang tua sering menikahkan anak-anak perempuannya di usia muda sehingga mereka memiliki lebih sedikit mulut untuk diberi makan dan pembayaran mahar adalah insentif lebih lanjut.
"Ini langkah yang disambut baik, tapi selama keluarga lapar dan laki-laki yang lebih tua memangsa gadis-gadis muda, hukum saja tidak akan melindungi anak-anak kita," kata Ndlovu.
Secara global, sekitar 15 juta anak perempuan menikah setiap tahun. Di sub-Sahara Afrika, dua dari lima perempuan menikah saat anak-anak.
Pernikahan Dini Mulai Dibatasi di Zimbabwe
Ketika Oriditsi Tlou hamil pada usia 15 tahun pada 2015, neneknya -Judith Mhlongo- dengan cepat menuntut ganti rugi dan pembayaran mahar dari kekasih Tlou, yang lebih tua.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
51 menit yang lalu