Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pernikahan Anak Usia Dini di Indonesia Makin Disorot PBB

Sebagai salah satu negara dengan kepadatan penduduk tertinggi di dunia, Indonesia kerap disorot dunia terkait berbagai isu sosial yang terjadi di dalamnya. Salah satu problema yang paling sering membetot atensi internasional adalah seputar perlindungan hak anak.n
Ilustrasi/Futuretimeline
Ilustrasi/Futuretimeline

Kabar24.com, JAKARTA - Sebagai salah satu negara dengan kepadatan penduduk tertinggi di dunia, Indonesia kerap disorot dunia terkait berbagai isu sosial yang terjadi di dalamnya. Salah satu problema yang paling sering menyita atensi internasional adalah seputar perlindungan hak anak.

Beberapa waktu lalu, Indonesia dikritik oleh PBB terkait tingginya praktik sunat atau mutilasi genital pada anak perempuan. Baru-baru ini, negara beribukota Jakarta tersebut juga menuai sorotan terkait masalah perlindungan hak anak di dalam dunia bisnis.

Kali ini, PBB melalui United Nations Children Emergency Fund (UNICEF) menggarisbawahi isu pernikahan dini, yang lazim terjadi di berbagai daerah di Tanah Air. Mereka mendesak inisiatif multinasional untuk mengakhiri perkawinan anak di Indonesia.

Desakan tersebut diserukan di sela-sela peringatan Hari Perempuan Internasional belum lama ini. Sebab, menurut UNICEF dan United Nations Population Fund (UNFPA), perempuan dan anak-anak adalah pihak yang paling rentan menjadi korban praktik perjodohan pada usia dini.

Kedua organisasi tersebut membentuk program Percepatan Aksi untuk Mengakhiri Pernikahan Anak, dengan melibatkan peran keluarga, komunitas, pemerintah, serta generasi muda.

Program tersebut bakal dijalankan di 12 negara Afrika, Asia, dan Timur Tengah. Termasuk di dalamnya adalah Indonesia, di mana banyak terjadi banyak anak yang dipaksa menikah pada usia sangat muda.

Memilih kapan dan dengan siapa untuk dinikahi adalah salah satu keputusan paling penting dalam hidup. Perkawinan usia anak menjadikan jutaan anak perempuan kehilangan kesempatan ini setiap tahun, tegas Direktur Eksekutif UNFPA Babatunde Osotimehin.

Dia menjelaskan sebagai bagian dari program global tersebut, UNICEF dan UNFPA akan bekerja sama dengan pemerintah negara-negara dengan prevalensi perkawinan usia anak tinggi guna menegakkan hak-hak perempuan usia remaja.

Sehingga, mereka bisa mencapai potensi mereka dengan maksimal, dan pemerintah negara-negara tersebut dapat mencapai tujuan pembangunan sosial dan ekonomi mereka dengan baik, imbuhnya.

PREVALENSI TERTINGGI

Di Indonesia, prevalensi pernikahan anak tertinggi terjadi di Sulawesi Barat dengan 37,3%, disusul Kalimantan Tengah 36,7%, Sulawesi Tengah 34,4%, Gorontalo 33,7%, Papua 33,4%, Sulawesi Tenggara 32,6%, Kalimantan Selatan 32,5%, dan Sulawesi Selatan 31,3%.

Sementara itu, prevalensi di Jawa Barat juga relatif tinggi, yaitu mencapai 30,7%, dan Jami 30%. Selanjutnya, di Kalimantan Barat 29,9%, Papua Barat 28,9%, Maluku Utara 27,8%, Jawa Timur 27,7%, Bengkulu 27,5%, Kalimantan Timur 26,6%, dan Bangka Belitung 25,8%.

Di Sumatra Selatan 25,3%, Banten 25,3%, NTB 25,3%, Sulawesi Utara 25,1%, Maluku 23,3%, Riau 21,1%, NTT 20,7%, Kepulauan Riau 20,1%, Jawa Tengah 19,7%, Sumatra Barat 19,7%, Aceh 17,4%, Lampung 16,7%, Bali 15,8%, Sumatra Barat 15,4%, D.I. Yogyakarta 15,1%, dan DKI Jakarta 13%.

Babatunde menjelaskan program baru tersebut akan fokus pada lima strategi yang telah teruji, termasuk meningkatkan akses anak perempuan terhadap pendidikan, dan mendidik orang tua dan masyarakat tentang bahaya perkawinan usia anak.

Selain itu juga meningkatkan dukungan ekonomi untuk keluarga, serta memperkuat dan memberdayakan undang-undang yang menetapkan batasan minimal usia pernikahan adalah 18 tahun.

Direktur Eksekutif UNICEF Anthony Lake menambahkan saat ini dunia telah menyadari dampak mengerikan dari praktik pernikahan usia dini, tidak hanya pada korbannya, tetapi juga pada anak-anak mereka kelak, dan masyarakat di sekitarnya.

Program ini akan membantu mendorong aksi mencapai anak-anak perempuan yang menghadapi risiko terbesar, dan membantuk lebih banyak anak perempuan dan wanita muda menyadari hak mereka untuk menentukan takdir mereka sendiri, jelasnya.

Dia memprediksi jika tren pernikahan dini yang terjadi saat ini terus berlanjut, diperkirakan jumlah anak perempuan yang menikah pada usia dini akan mencapai 1 miliar jiwa pada 2030. Itu berarti 1 miliar masa kanak-kanak akan hilang, dan 1 miliar masa depan akan hancur.

Sudah jelas bahwa PBB menilai praktik menikahkan perempuan secara paksa pada usia anak adalah sebuah bentuk pelanggaran hak. Dampak paling nyata yang dirasakan korban adalah terpaksa putus sekolah, mengalami kekerasan domestik, dan tertular HIV/AIDS.

Tidak sedikit perempuan yang menikah pada usia terlalu muda meninggal dunia akibat komplikasi saat kehamilan dan melahirkan. Selain itu, pernikahan dini juga menciderai perekonomian negara dan menyebabkan siklus kemiskinan lintas generasi.

Komunitas global menunjukkan komitmen untuk mengakhiri pernikahan dini dengan memasukkan target untuk mengakhiri praktik-praktik berbahaya tersebut dalam SDGs. Kami mengimbau pemerintah untuk mendukung program baru ini guna mengeliminasi pernikahan usia anak pada 2030, tegas Anthony.

Sekadar catatan, program percepatan eliminiasi pernikahan dini tersebut didukung oleh beberapa dari anggota inti PBB, yaitu Kanada, Uni Eropa, Italia, Belanda, dan Inggris.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper