Bisnis.com, JAKARTA — Praktisi hukum Indonesia harus mampu menjembatani berbagai perbedaan tradisi hukum dalam menyelesaikan kasus di arbitrase internasional.
Irfan Ghazali, partner dari Makes & Partners, mengatakan di era Masyarakat Ekonomi Asean atau MEA, akan semakin banyak transaksi perdagangan dan bisnis internasional di antara negara-negara yang mengadopsi tradisi common law dan civil law.
“Oleh karena itu, penyelesain sengketa melalui institusi arbitrase, antardua pihak dari tradisi hukum yang berbeda tidak terelakan. Praktisi hukum, khususnya yang muda, harus siap dengan tren penyelesaian sengketa di masa depan ini,” katanya dalam rilis yang diterima Minggu (13/3/2016).
Meskipun terdapat perbedaan secara konseptual dan historis dalam sistem hukum common law dan civil law, perbedaan-perbedaan ini semakin tidak terasa dalam praktik arbitrase internasional yang semakin konvergen.
Kesimpulan ini terungkap dalam diskusi “Arbitrating with Foreign Parties: a Civil Way to Find Common Ground” yang diselenggarakan oleh International Chamber of Commerce Young Arbitrators Forum di Hotel Grand Hyatt, 11 Maret 2016.
Acara diskusi juga menghadirkan konsultan hukum dari Australia James Morrison, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Mieke Komar, partner dari Wong Partnership Alvin Yeo, dan Hikmahanto Juwana yang merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
James Morrison menyebutkan praktik arbitrase internasional bersifat multi-yurisdiksi, di mana para pihak bebas untuk menentukan hukum acara, hukum yang berlaku, arbitrase, dan kuasa hukumnya.
Hal ini menyebabkan arbitrase internasional menjadi forum yang sangat unik dalam menyelesaikan sengketa.