Kabar24.com, JAKARTA - Praktik prostitusi ternyata bukan perkara yang tak bisa dikurangi.
Di dunia dikenal dua pola penanganan prostitusi yang bisa dijadikan perbandingan untuk penanganan prostitusi di Indonesia.
Sosiolog Universitas Indonesia Jakarta Devie Rahmawati mengatakan permasalahan prostitusi bisa diselesaikan menggunakan dua pendekatan, yaitu mengurangi penawaran atau mengurangi permintaan.
"Indonesia perlu belajar dari Eropa dan Amerika Serikat dalam mengatasi persoalan ini. Ada yang berhasil dan ada pula yang tidak," kata Devie dihubungi di Jakarta, Minggu (21/2/2016).
Devie mengatakan Swedia merupakan salah satu contoh negara yang kebijakannya secara empiris berhasil menurunkan angka pelaku seks komersial meskipun melegalkan prostitusi.
Pasalnya, meskipun melegalkan prostitusi, Swedia memilih untuk mengurangi permintaan dengan memberlakukan hukuman denda yang ketat terhadap para konsumen prostitusi.
"Amerika Serikat yang memilih mengurangi penawaran dengan tidak melegalkan prostitusi, justru tidak berhasil mengurangi angka pelaku seks komersial," tuturnya.
Namun, Devie menuturkan tidak semua negara yang melegalkan prostitusi berhasil mengurangi jumlah pelaku seks komersial. Contohnya adalah Belanda dan Jerman.
"Belanda dan Jerman semenjak 2000-an melegalkan prostitusi tetapi gagal mengurangi angka pelaku seks komersial karena mereka memberikan kesempatan kepada pasar untuk menambah penawaran tanpa berupaya mengurangi permintaan," katanya.
Devie mengatakan sikap 196 negara di dunia terbelah terkait penanganan prostitusi. Sebanyak 77 negara memilih melegalkan sedangkan sisanya memberlakukan sistem yang sangat ketat terhadap praktik lokalisasi.
Indonesia, bersama Thailand, termasuk yang tidak melegalkan secara hukum. Namun, pada tataran praktik kemasyarakatan, bisnis prostitusi tersedia untuk melayani publik.