Kabar24.com, JAKARTA— Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta perluasan kewenangan untuk menyelidiki dugaan korupsi yang dilakukan antar pihak swasta ke swasta sesuai dengan hasil penilaian yang dilakukan tahunan oleh United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) dan sesuai dengan Konvensi Global Anti Korupsi.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengungkapkan berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan UNODC secara tahunan, kekurangan UU KPK memuat beberapa hal. Di antaranya adalah belum diaturnya penanganan korupsi antar swasta serta memperkaya diri secara ilegal.
"Padahal sumber korupsi itu kebanyakan pada private sector, yang menyuap orang," kata Syarif dalam diskusi publik, Selasa (16/2/2016)
Dia mengungkapkan jika ingin memperkuat KPK, maka DPR RI bisa mengubah norma yang sesuai dengan hasil penilaian UNODC tersebut dalam UU KPK. Hal itu, sambungnya, akan membuat Indonesia benar-benar patuh terhadap Konvensi Global Anti Korupsi, yakni The United Nations Convention against Corruption (UNCAC).
Syarif memaparkan suap antar swasta belum diatur secara tegas dalam UU Tipikor yang ada saat ini. Walaupun demikian, katanya, KPK tetap dapat menyentuh pemberi suap terkait dengan pemberian suap terhadap penyelenggara negara.
Konvensi global itu sendiri mencakup tindakan pencegahan dan penindakan terhadap dugaan korupsi. UNCAC sendiri menyatakan korupsi itu menyangkut soal penyuapan, penggelapan dana publik dan swasta, memperdagangkan pengaruh, memperkaya diri secara ilegal serta penyalahgunaan fungsi jabatan. Dan masalah korupsi itu, tak hanya antara sektor publik dan swasta, namun juga antar swasta.
KPK sendiri melakukan koordinasi dan supervisi (Korsup) terhadap sektor pertambangan mineral dan batu bara berkaitan dengan indikasi korupsi dan penerimaan negara. KPK juga bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyangkut soal pajak.
PPATK sebelumnya menyatakan terdapat 3.100 Wajib Pajak yang tak membayar kewajibannya sekitar RP31 triliun. Lembaga itu mengidentifikasi perusahaan menjadi WP yang dominan, terutama di sektor pertambangan, perkebunan, properti, dan jasa.
"Kami sudah melakukan kerja sama dengan Ditjen Pajak dan PPATK untuk melakukan perbaikan, tapi kalau ditemukan unsur korupsi, misalnya seseorang tak diambil pajak dengan selayaknya karena ada suap, maka kami akan kerjakan," kata Syarif.