Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Korupsi Anggota DPR: Dewie Limpo Minta "Dana Pengawalan" Anggaran

Dewie Limpo yang ditangkap dalam operasi tangkap tangan KPK ternyata memasang tarif untuk dana pengawalan anggaran di DPR.
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Hanura Dewie Yasin Limpo keluar dari gedung KPK usai mengurus administrasi di KPK, Jakarta, Kamis (22/10/2015)./Antara
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Hanura Dewie Yasin Limpo keluar dari gedung KPK usai mengurus administrasi di KPK, Jakarta, Kamis (22/10/2015)./Antara

Kabar24.com, JAKARTA -- Dewie Limpo yang ditangkap dalam operasi tangkap tangan KPK ternyata memasang tarif untuk "dana pengawalan" anggaran di DPR.

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Hanura yang dikenal dengan nama Dewie Yasin Limpo itu disebut meminta dana tujuh persen sebagai "dana pengawalan" anggaran dari pemerintah pusat untuk pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua.

"Pada pertemuan tanggal 18 Oktober itu, Bu Dewie tanya program apa yang mau dibayarkan? Saya bilang waktu itu katanya kesepakatan pembangkit listrik tenaga surya tapi Bu Dewie bilang siapkan 'dana pengawalan', katanya awalnya 10 persen tapi setelah ditawar jadi tujuh persen supaya diloloskan pekerjaan untuk kabupaten Deiyai," kata saksi Rinelda Bandaso dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis (21/1/2016).

Rinelda yang merupakan asisten pribadi Dewie bersaksi untuk dua terdakwa yaitu Kepala Dinas ESDM kabupaten Deiyai, Papua, Irenius Adii dan pemilik PT Abdi Bumi Cendrawasih Setiady Jusuf yang didakwa menyuap anggota DPR Dewie Yasin Limpo sebanyak 177.700 dolar Singapura.

Irenius sebelumnya pada Maret 2015 telah memasukkan proposal usulan bantuan dana pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai tahun 2015 kepada Dewie melalui Rinelda.

"Dia (Irenius) mengajukan ke saya dan saya sampaikan ke Bu Dewie, adik saya juga telepon dari Deiyai kalau di sana tidak ada listrik dan di kabupaten ada mesin dengan trafo tapi tidak ada kabel dan tiang untuk pemasangan jaringan. Saya bilang ada program pemerintah, program gratis listrik yaitu tiang dan kabel, tapi masukkan saja proposalnya untuk dibawa ke Dewie," ungkap Rinelda menjelaskan proses penyerahan proposal.

Rinelda yang juga menjadi tersangka dalam perkara yang sama mengaku bertugas untuk "mengawal" proposal yang diajukan oleh Irenius.

"Saya hanya 'mengawal' proposal yang disampaikn Pak Irenius, ada masyarakat Toraja di Deiyai dan ini menyangkut hajat hidup orang banyak di sana," ungkap Rinelda yang merupakan pengurus DPC Partai Hanura Toraja tersebut.

Rinelda pun menilai bahwa proposal yang disampaikan Irenius sudah memuat hal-hal yang dibutuhkan.

"Sudah ada tanda tangan dari PLN Papua dan tinggal saya sampaikan ke Bu Dewie," jelas Rinelda.

Rinelda sendiri tahu dari Dewie bahwa ada anggaran Rp2 triliun yang akan dianggarkan ke kementerian BUMN dan di antaranya ada yang akan dialirkan ke Ditjen Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM (EBTKE) sebesar Rp50 miliar.

"7 persen itu dari jumlahnya Rp50 miliar kalau saya tidak salah," ungkap Rinelda.

Pelaksana proyek

Fee sebesar tujuh persen itu berasal dari Setiady yang dijanjikan sebagai pelaksana proyek bila proposal Irenius berhasil digolkan oleh Dewie.

"Fee dari Setiady yang sudah saya ambil 1,577 miliar. Saya dikasih 177.700 dolar Singapura, tapi di situ juga saya dikasih 1.000 dolar Singapura, katanya untuk ongkos taksi, jadi total yang ada di kantong itu 178.700 dolar Singapura," tambah Rinelda.

Penyerahan uang dilakukan pada 20 Oktober di Resto Baji Pamai Mal Kelapa Gading Jakarta Utara.

"Tapi belum sempat diserahkan ke Bu Dewie dan Pak Bambang (asisten Dewie) sudah ditangkap KPK di mal Kelapa Gading," ujarnya.

Dalam perkara ini, Irenius dan Setiady didakwa berdasarkan pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Editor : Saeno
Sumber : Antara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper