JAKARTA—Penyelidikan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan delapan persoalan buruknya tata kelola Tenaga Kerja Indonesia 2015 di antaranya menyangkut persoalan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS).
Hal itu disampaikan Ketua ORI Danang Girindrawardana di Jakarta, kemarin. Dia menuturkan melakukan investigasi prakarsa sendiri terkait dengan tata kelola tenaga kerja Indonesia (TKI). Investigasi ORI dilakukan dalam 3 bulan dengan sejumlah objek di antaranya adalah Kementerian Ketenagakerjaan, Dinas Tenaga Kerja Provinsi, PPTKIS dan konsorsium asuransi.
"Beberapa persoalan adalah Layanan Terpadu Satu Atap, sinkronisasi data calon TKI, dan penampungan atau Balai Latihan Kerja TKI milik swasta," kata Danang dalam keterangan resminya, Kamis (29/10/2015).
Dia menuturkan ORI meminta persoalan tata kelola itu harus diselesaikan selambat-lambatnya pada Desember annti. Selain itu, papar Danang, pihaknya juga mengharapkan adanya masukan dari pemangku kepentingan lainnya yang berguna untuk hasil investigasi lembaga tersebut.
Sejumlah masalah yang ditemukan adalah Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) yang tak bisa memberikan imigrasi kepada calon TKI. Selain itu, ada pula soal pengurusan asuransi TKI yang belum optimal dan memakan waktu.
Masalah lainnya adalah proses pendaftaran calon TKI, pemeriksaan kesehatan, penampungan Balai Latihan Kerja milik PPTKIS, pelatihan calon TKI, pembekalan akhir, pelayanan TKI di negara penempatan, serta pengaduan TKI sendiri. Dalam pengaduan TKI,
ORI menemukan sejumlah masalah macam pemalsuan identitas dan dokumen, eksploitasi kerja dan kekerasan serta masalah asuransi.
Danang juga mengungkapkan terdapat banyak penampungan yang tertutup untuk dimintakan informasi atau dikunjungi. Padahal, sambungnya, hal tersebut melanggar ketentuan UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik, terutama soal akuntabilitas kepada masyarakat.
"Banyak dari calon TKI yang mengeluhkan tindakan pemiliki penampungan, antara lain sikap yang tidak baik, menakut-nakuti sampai tindakan mengancam," kata dia.
Selain itu, ORI mengungkapkan penampungan calon TKI masih belum profesional dengan menempatkan calon tenaga kerja itu terlalu lama di penampungan, yakni hingga 6 bulan. Padahal, sebelumnya dijanjikan hanya 3 bulan maksimal.
Oleh karena itu, ORI merekomendasikan perlunya ketegasan dalam pemberian sanksi bagi penampungan yang melanggar ketentuan pemerintah dalam pelayanannya kepada calon TKI. Danang pun menuturkan diperlukan pengawasan berkala dan laporan kepada Kementerian Ketenagakerjaan tentang kinerja PPTKIS yang memiliki penampungan tersebut.
PERBUDAKAN
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengungkapkan kondisi layak bagi buruh migran tak semudah membalikkan telapak tangan. Pemerintahan sebelumnya, kata Anis, mewariskan segudang permasalahan macam perbudakan dan ancaman hukuman mati bagi buruh tersebut.
Migrant Care juga menyoroti soal tata kelola penempatan buruh yang menganggap para pekerja tersebut sebagai objek pemerasan dan pengambilan keuntungan tidak sah dan sewenang-wenang. Hal itu, paparnya, baik dilakukan oleh sektor swasta maupun pemerintah.
Dia menilai tiga lembaga yang menangani buruh migran masih belum maksimal dalam memberikan perlindungan. Ketiga lembaga itu adalah Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
"Kementerian Ketenagakerjaan malah melanjutkan kebijakan kontradiktif yakni Penghapusan Pembantu Rumah Tangga Migran. Dalam praktiknya, moratorium hanya menghasilkan potensi pembesaran praktik perdagangan manusia atas nama penempatan buruh migran," kata Anis dalam keterangan resminya.