Kabar24.com, MALANG - Euforia penetapan Hari Santri Nasional yang diumumkan Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) beberapa waktu lalu terlihat di mana-mana. Terutama di kalangan pondok pesantren (ponpes) dan sekolah maupun perguruan tinggi yang berbasis agama (Islam), terlebih yang berbasis Nahdatul Ulama (NU).
Satu tahun lalu, Ponpes Babussalam yang berlokasi di Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, begitu riuh dengan hadirnya seorang calon presiden yang tengah melakukan kampanye. Seperti biasa, sang calon presiden dengan pakaian "kebesarannya" baju putih lengan panjang dan celana panjang warna hitam.
Dan, di Pondok Pesantren yang jauh dari hiruk pikuk dan gemerlapnya dunia perkotaan itulah tercetus adanya Hari Santri Nasional (HSN) dan sang calon presiden pun menyetujuinya, bahkan berjanji jika memang terpilih menjadi orang nomor satu di Tanah Air, ide HSN tersebut bakal direalisasikan.
Lahirnya Hari Santri yang diperingati pada, Kamis (22/10/2015) di seluruh penjuru Nusantara itu tidak terlepas dari peran seorang kiai bernama Thoriq bin Ziyad, pengasuh Pondok Pesantren Babussalam, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Thoriq bin Ziyad yang akrab disapa Gus Thoriq, menceritakan proses lahirnya Hari Santri Nasional tersebut. Berawal pada 2009, Hari Santri Nasional dideklarasikan pada 18 Desember, bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1 Muharram di Pondok Pesantren Babussalam yang berada di Desa Banjarejo.
Ketika deklarasi pertama, hadir beberapa nama tokoh, yaitu Yenny Wahid, Saifullah Yusuf, dan kiai Kholil Asad Syamsul Arifin dari Situbondo. Sebenarnya, tutur Gus Thoriq, deklarator pertama Hari Santri Nasional adalah Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid (Presiden ke-4 RI), namun sebelum gagasan itu terwujud, Gus Dur meninggal dunia.
Dua tahun kemudian (2011), saat 1 Muharram, masih di Ponpes Babussalam, peringatan Hari Santri Nasional dihadiri oleh Anas Urbaningrum. Dan, tahun berikutnya (2012), peringatan Hari Santri dilangsungkan di Universitas Negeri Jember (Unej).
Dukungan terhadap Hari Santri Nasional pun datang dari KH Said Agil Siraj (saat ini menjabat Ketua Umum PBNU). Selanjutnya, Gus Thoriq memberikan surat rekomendasi untuk disampaikan kepada Presiden RI (saat itu masih dijabat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Surat tersebut berisi tentang menetapkan 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional.
Pada 2014, Joko Widodo, hadir di Ponpes Babussalam. Kehadirannya sebagai calon Presiden RI. Pada saat itu, Jokowi berjanji bila menjadi Presiden RI, siap berjuang dan menetapkan 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional dan pada tahun ini, tepatnya 15 Oktober 2015, Presiden RI Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.
Gus Thoriq pun sebagai pencetus ide adanya Hari Satri Nasional itu mengapresiasi penetapan Hari Santri tersebut, namun menurut dia ada satu hal yang masih belum terwujud. "Keppres Nomor 22 Tahun 2015 menetapkan Hari Santri, bukan Hari Santri Nasional," tegasnya.
Ia berharap santri di seluruh Indonesia lebih diperhatikan, dihargai, dan diapresiasi sebagaimana keinginan awal Gus Thoriq bersama rekan-rekannya ketika menggagas Hari Santri Nasional.
Ketua DPW PKB Jawa Timur Abdul Halim Iskandar menceriterakan mengapa tanggal 22 Oktober ditetapkan menjadi hari santri? Karena pada 22 Oktober 1945, para kiai dan ulama di bawah komando KH Hasyim Asyari mengadakan musyawarah bahwa wajib angkat senjata melawan penjajah yang disebut sebagai resolusi jihad.
"Negeri ini tidak akan ada kalau tidak ada peran ulama Nadhatul Ulama (NU). Hal tersebut mengapa tidak diangkat sebagai sejarah resmi karena ada yang ketakutan ketika diangkat banyak hal yang akan terjadi," paparnya.
Oleh karena itu, pria yang juga kakak Ketua Umun DPP PKB Muhaimin Iskandar ini berpesan kepada santri untuk patuh pada NKRI, dan mempertahankannya dari ancaman kelompok-kelompok yang ingin merobohkan NKRI, mengganti Pancasila dan UUD 1945. Dan, seharusnya umat Muslim di Malang bersyukur terhadap penetapan hari santri karena penetapan tersebut ide awal dan gagasannya muncul dari Malang.
"Kita harus bersyukur Hari Santri sudah diputuskan sebagai Hari Santri Nasional dan dari Malang inilah tempat surat pernyataan tersebut dibuat, tepatnya ketika Presiden Joko Widodo berkampanye pada Pemilihan Presiden 2014," ucapnya.
Pakai Sarung Seharian Hari Santri Nasional yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 22 Okotober, tidak hanya diperingati secara unik oleh para santri di hampir seluruh Pondok Pesantren (Ponpes) yang ada di wilayah Kota dan Kabuapten Malang, namun juga diperingati di sejumlah kampus.
Tidak hanya dengan upacara bendera yang emngenangkan sarung bagi mahasiswa dan rok bagi mahasiswi, tapi selama proses perkuliahan selama sehari penuh juga memakai sarung dan rok panjang.
Salah satu kampus yang mewajibkan mahasiswanya memakai sarung pada saat perkuliahan pada Hari Santri Nasional (HSN) itu adalah Universitas Islam Malang (Unisma). Sedangkan untuk mahasiswi dan segenap civitas akademika perempuan diwajibkan mengenakan rok (kain) panjang.
"Kewajiban memakai sarung dan kopiah bagi mahasiswa ini sebagai bentuk menghormati HSN yang telah ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 22 Oktober. Sarung merupakan ciri khas santri dan merupakan busana asli Indonesia, sehingga selama sehari penuh mahasiswa diwajibkan memakai sarung dan mahasiswi memakai rok panjang," imbuh Wakil Rektor II Unisma Noor Shodiq Askandar.
Ia mengemukakan sarung pada masa kolonial merupakan salah satu ciri khas para pejuang Tanah Air. Sarung juga merupakan simbol perlawanan bangsa Indonesia pada saat itu, yakni untuk melawan masuknya budaya dari dunia barat.
Ketika itu, bangsa penjajah mengenakan celana, sedangkan para ulama melakukan perlawanan budaya dengan menggunakan simbol sarung. Untuk mengembalikan dan menguatkan identitas santri pada Hari Santri Nasional ini, seluruh civitas akademika Unisma memakai sarung sebagai kampanye untuk mengingatkan perjuangan para ulama.
Apalagi, tepat 70 tahun lalu, bertepatan dengan Resolusi Jihad, yakni sebuah seruan yang dikumandangkan pendiri NU KH Hasyim Asyari pada Nahdliyin untuk berjihad melawan penjajah dan sekutunya.
Guna memperingati Hari Santri Nasional yang ditetapkan sesuai Resolusi Jihad, Unisma juga memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MuRI), yakni menjalani perkuliahan dengan memakai sarung yang diikuti oleh sekitar 5 ribu peserta, baik mahasiswa maupun dosen.
Berkaitan dengan pemecahan rekor MURI pemakaian kain sarung dalam kegiatan perkuliahan, tim juri MURI sejak pagi mengelilingi kampus tersebut untuk melihat penampilan mahasiswa dan dosen memakai sarung. Dan, pada akhir penjurian, akhirnya Unisma berhasil meraih rekor MURI "Perkuliahan Dengan Mengenakan Sarung Terbanyak". Sebab, Unisma merupakan satu-satunya perguruan tinggi sekaligus pencetus menggunakan sarung selama proses perkuliahan berlangsung.
"Rekor MURI ini diharapkan mampu lebih memperkenalkan Unisma sekaligus menanamkan rasa dan karakter Nahdatul Ulama (NU) yang kuat dalam diri keluarga besar Unisma. Selain itu, sebagai upaya menghapuskan stigma negatif di kalangan masyarakat tentang santri atau orang-orang yang bersarung," kata Wakil Rektor I Unisma Junaidi Mistar.
Ia mengakui kadang santri dinilai kalangan menengah ke bawah, kuper dan stigma negatif lainnya. "Kita mau menumbuhkan bahwa santri yang biasanya bersarung adalah orang-orang yang nantinya membantu mengembangkan, memajukan bahkan menyelamatkan negara, sebab karya-karya anak santri itu luar biasa," ujarnya.
Selain di Unisma, mahasiswa di Universitas Kanjuruhan (Unikama), meski Unikama bukan perguruan tinggiyang berbasis agama (Islam), juga diwajibkan memakai sarung selama mengikuti perkuliahan untuk menghormati sekaligus memperingati Hari Santri Nasional.
Sementara itu Hari Santri Nasional juga diperingati di sejumlah Ponpes di Kabuapten Malang. Salah satunya adalah Ponpes Roudotul Ulum 2, Desa Putukrejo Kecamatan Gondanglegi. Ada seribu santri yang akan mengikuti upacara dengan mengenakan sarung.
Menurut Pengasuh Ponpes Roudotul Ulum 2, KH Hamim Kholili, upacara tersebut digelar sebagai bentuk perayaan Hari Santri Nasional karena sudah ditetapkan oleh pemerintah. "Saat ini sudah menjadi tanggung jawab santri, pesantren dan kiai dan semua pihak untuk mengisi hari santri menjadi momentum yang manfaat untuk kemajuan negeri tercinta kita ini, Indonesia," ucapnya.
Sebagai santri, tegasnya, wajib mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara, UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara. "NKRI sebagai bentuk negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara. Hal itu harus dipertahankan oleh rakyat termasuk para santri," tuturnya.
Ia mengakui saat ini banyak aliran-aliran yang berusaha untuk menyelewengkan atau bahkan mengubah empat pilar kebangsaan yang notabene adalah hasil ijtihad para ulama dan santri dalam berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Sebagai kaum santri, di hari santri nasional ini, harus mengusung ruhul jihad yang memiliki nilai nasionalisme.
"Kita akan menjadi bemper untuk mempertahankannya sebagai wujud dari ruhul jihad dari resolusi jihad 22 Oktober 1945. Sikap nasionalisme menjadi ruh bagi rakyat Indonesia dan para santri khususnya," tegasnya.
Seusai ditetapkannya Hari Santri Nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) oleh Presiden RI Joko Widodo, seluruh Ponpes di Malang diinstruksikan untuk menggelar upacara Hari Santri pada 22 Oktober 2015 secara serentak. Dan, itu berlaku untuk semua Ponpes atau yayasan di bawah naungan Nadhatul Ulama (NU).
Urutan upacara Hari Santri Nasional diawali dengan pengibaran bendera merah putih, di mana di sebelah kanan 5 bendera NU, dan kiri 4 bendera, total sembilan bendera, kemudian prosesi pengibaran bendera merah putih yang ada di tengah.
Pada saat dikibarkan, diiringi lagu Indonesia Raya, kemudian pembacaan teks Pancasila dan UUD 1945 yang dilanjutkan dengan pembacaan ikrar santri. Dalam ikrar tersebut intinya bahwa santri harus siap mempertahankan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sehingga apabila ada yang akan mengubah itu harus berhadapan dengan santri dan NU.