Kabar24.com, JAKARTA - Semua pemangku kepentingan, termasuk partai politik, diminta mengutamakan kepentingan negara di tengah ancaman deadlock politik, menyusul fenomena calon tunggal kepala daerah yang akan membuat pilkada bisa tertunda di beberapa daerah.
Peneliti Senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan sebanyak 13 pilkada yang seharusnya dilaksanakan pada Desember 2015 terancam ditunda karena baru ada satu pasangan calon.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebelumnya mengatakan bahwa pilkada serentak tahun ini dapat diundur sampai 2017, khusus untuk daerah yang hanya memiliki satu calon kepala daerah. Sedangkan pendaftaran para calon kepala daerah akan ditutup hari ini setelah dibuka pada Minggu lalu.
Menurut Siti Zuhro, baik pemerintah maupun partai politik dan penyelenggara harus segera mencari solusi agar deadlock politik tidak terjadi. Dengan demikian, dinamika politik tersebut tidak berdampak buruk pada kondisi perekonomian di tengah melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS saat ini.
Apalagi, pelaksanaan pilkada nantinya akan bersamaan dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean yang akan memberi dampak ekonomi pada Indonesia. Dia mengingatkan kalau kerumitan politik itu terjadi maka yang menikmati adalah negara tetangga sebagai tempat untuk mengalihkan investasi asing dari Indonesia.
“Semua stakeholder harus bertanggung jawab. Samakan persepsi untuk menghindari deadlock politik karena hal itu akan berdampak pada ekonomi,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (28/7/2015).
Siti juga mengkhawatirkan masih rendahnya serapan anggaran hingga pertengahan tahun ini sehingga kalau terjadi kerumitan politik maka kondisi itu akan kian memburuk.
Menurutnya, munculnya fenomena calon tunggal tidak terlepas dari sikap partai politik yang pragmatis dan oportunistis. Hal itu membuat membuat pemangku kepentingan di dunia politik itu cenderung mendukung calon yang dinilai kuat.
Akibatnya, di daerah tertentu, dukungan parpol menyatu pada calon yang diperkirakan akan menang. Bahkan sejumlah parpol sengaja tidak mengusung calonnya sendiri karena tidak percaya diri untuk bersaing.
Hal yang sama, ujar Siti, terlihat ketika Pilpres 2014 ketika hanya ada dua pasangan capres meski sejumlah parpol bisa mengusung calon presiden.
“Sebagai institusi demokrasi parpol juga harus dituntut untuk bertanggung jawab kepada publik untuk mengusung calon. Berlagalah secara transparan,” ujar Siti.
Profesor riset itu juga mengingatkan pemerintah untuk tidak buru-buru mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menyelesaikan persoalan itu agar tidak ada kesan keberpihakan pada parpol tertentu.
Pasangan calon tunggal antara lain berpotensi terjadi di antaranya Kota Surabaya, Kabupaten Banyuwangi di Jawa Timur serta Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. []