Bisnis.com, JAKARTA – Implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 tahun 2014 terkait biaya pencatatan nikah ternyata masih rawan gratifikasi. Hal ini membuat Komisi Pemberantasan Korupsi bersama tiga kementerian terkait melakukan rapat koordinasi.
Rapat tersebut dihadiri oleh tiga Komisioner KPK yakni Taufiequrachman Ruki, Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain, serta Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin, Irjen Kementerian Agama M. Jasin, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Machasin, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Askolani, Dirjen Perbendaharaan Kemenkeu Marwoto Harjowiryono dan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri Irman.
Ketua Sementara KPK Taufiequrachman Ruki berujar kegiatan ini dilaksanakan atas adanya temuan yang berpotensi terjadinya gratifikasi pada sistem yang sudah berjalan.
“Maka diminta atau tidak diminta, baik ada kasus atau tidak ada kasus. Kami akan turun,” katanya dalam keterangan pers yang diterima Bisnis.com, Jumat (26/6/2015).
Praktik penerimaan uang saku, tanda terima kasih, pengganti transportasi atau istilah lainnya terkait Pencatatan Nikah yang tidak resmi, merupakan gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu, Menteri Lukman Hakim Saifudin mengatakan PP yang mengatur tarif biaya pencatatan nikah telah diimplementasikan sejak Juli 2014.
Peningkatan pelayanan masyarakat untuk pencatatan nikah di Balai Nikah atau Kantor Urusan Agama (KUA) tidak dikenakan biaya. Sedangkan pencatatan nikah di luar Balai Nikah/KUA pada hari libur dan di luar jam kerja, dibebankan kepada masyarakat melalui mekanisme Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Bagi masyarakat yang tidak mampu dan terkena bencana, meski dilakukan di luar Kantor KUA, tetap digratiskan. Ini terobosan yang penting di tengah kerinduan masyarakat terhadap layanan prima dari pemerintah secara mudah dan gratis,” kata Lukman.
Lukman melanjutkan, berbagai upaya perbaikan telah dilakukan. Misalnya, penyetoran biaya pelayanan nikah oleh masyarakat dilakukan melalui transfer bank, kecuali daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh bank. Kemudian sistem pengelolaan PNBP dilakukan secara terpusat, pembayaran honorarium dan biaya transportasi pelayanan nikah kepada penghulu dilakukan secara langsung ke rekening petugas terkait.
“Cara itu diharapkan bisa memutus mata rantai yang memberi ruang terjadinya praktik pungli atau gratifikasi,” katanya. Sayangnya, dalam pelaksanaannya, Lukman mengakui masih menemukan sejumlah kendala dalam implementasi PP tersebut, baik internal maupun eksternal.
Secara internal, terdapat keterlambatan proses pencairan PNBP yang diakibatkan oleh terlambatnya data perstiwa nikah pada 5.497 KUA di seluruh Indonesia. “Ini membuka peluang terjadinya gratifikasi,” katanya.
Kendala eksternal, masih ditemukan praktik pemberian gratifikasi oleh masyarakat kepada petugas pencatat nikah/Penghulu KUA dalam proses pengurusan administrasi dan pencatatan nikah. Praktik tersebut pada umumnya bukan permintaan pihak petugas, tapi dikarenakan kebiasaan masyarakat.
Praktik pemberian juga terjadi ketika mengurus administrasi kependudukan di RT/RW/Kelurahan sebagai prasyarat sebelum ke KUA. Bahkan, ada beberapa di antaranya yang menetapkan biaya administrasi.[]