Kabar24.com, JAKARTA—Liberalisasi sektor pendidikan harus segera dihentikan karena dampak negatifnya sangat besar, terutama ketika memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir tahun ini.
Demikian disimpulkan dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema “Ijazah palsu mencederai dunia akademik” bersama Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sohibul Iman, pengajar UIN Syahid Jakarta Musni Umar dan pengajar Universitas Indonesia Chusnul Mar’iyah di Gedung DPR, Kamis (28/5/2015).
Menurut Sohibul, liberalisasi sektor pendidikan yang membuat institusi pendidikan luar negeri bebas beroperasi di Indonesia akan membuat lembaga pendidikan dalam negeri kalah bersaing karena Indonesia belum siap.
Apalagi, ujarnya, azas resiprokal yang memungkinkan Indonesia membuka institusi pendidikan di luar negeri tidak bisa dipenuhi.
“Liberalisasi pendidikan mempunyai dampak negatif. Kita harus mengkaji lagi aturan-aturan internasional di sektor pendidikan yang kita lemah dalam hal ini, meski ada hal-hal yang kalau diliberalisasi justru Indonesia beruntung,” ujarnya.
Menurutnya dia, UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (PT) membuka peluang terjadinya liberalisasi pendidikan termasuk bagi asing.
Sedangkan Chusnul Mari’yah berpendapat bahwa liberalisasi sektor pendidikan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah.
Menurutnya, pemerintah menerima kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam hal liberalisasi atas 12 sektor industri yang termasuk di antaranya sektor pendidikan.
Chusnul mendukung revisi atas UU No.12 tahun 2012 tersebut karena selain belum siap untuk bersaing dengan negara luar, negara belum memiliki kemampuan untuk membiayai perguruan tinggi.
Untuk itu, undang-undang tersebut perlu dikaji kembali karena tugas utama negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, katanya.