Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah lembaga sosial masyarakat meminta pemerintah mempercepat revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 44/2008 tentang Pemberian Kompensasi, Retitusi dan Bantuan, untuk memastikan hak-hak korban kejahatan.
Supriyadi W Eddyono, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), mengatakan PP No. 44/2009 saat ini belum menampung hak-hak korban terorisme atas kompensasi dan hak bantuan medis psikososial bagi kejahatan khusus.
Revisi aturan itu sangat penting untuk pemberian bantuan bagi korban kejahatan. Lambatnya proses revisi yang dilakukan saat ini justru akan memperlemah implementasi perlindungan bagi korban kejahatan di Indonesia, katanya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (30/4/2015).
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) saat ini sebenarnya telah merampungkan draf revisi PP No. 44/2008. Revisi tersebut ditujukan untuk memperbaiki seluruh standar operasi prosedur atau SOP terkait pemberian dukungan bagi korban kejahatan.
Supriyadi menuturkan LPSK harus secara khusus memperhatikan prosedur pemberian kompensasi kepada korban kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat, dan terorisme. Pasalnya pengaturan terkait hal tersebut dalam Undang-Undang perlindungan saksi masih lemah.
Sudah enam bulan UU No. 31/2014 disahkan, tetapi revisi PP 44/2018 masih belum selesai. Padahal, UU yang disahkan pada Oktober 2014 itu memasukkan sejumlah ketentuan baru, ujarnya.
Sekedar diketahui, dalam Pasal 7 UU No. 31/2014 memang memuat hal baru, karena mengatur hak kompensasi bagi korban terorisme. Pasal 6 UU tersebut juga memuat hak bantuan medis psikologis kepada korban kejahatan khusus, seperti pelanggaran HAM berat, dan penyiksaan yang belum diatur dalam UU No. 13/2006.