Kabar24.com, JAKARTA - Berbagai upaya dilakukan pemerintah ketika warga negaranya mendapat vonis mati di negara lain baik itu melalui pernyataan bernada ancaman atau dengan cara melakukan pertemuan langsung antar kepala negara.
Cara yang pertama sudah dilakukan oleh Presiden Perancis Francois Hollande ketika warganya, Sergei Areski Atlaoui masuk dalam daftar 10 terpidana mati yang bakal dieksekusi di Nusakambangan yang direncanakan pada hari ini (28/4/2015).
Ya seperti halnya Australia, Hollande mengancam pemutusan hubungan diplomatik. Setelah ada pernyataan ancaman itu, Sergei pun sementara selamat dari eksekusi mati bersama terpidana lainnya meskipun Pemerintah RI membantah hal itu ada kaitannya dengan pernyataan Hollande.
Penundaan eksekusi Sergei lebih dikarenakan yang bersangkutan melakukan mendaftarkan perlawanan terhadap penolakan grasi Presiden Joko Widodo ke PTUN.
Kemudian cara kedua dengan lobi antar pemimpin negara dilakukan oleh Presiden Filipina Benigno Aquino III di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Asean Kuala Lumpur Malaysia Senin (27/4/2015). Pertemuan empat mata itu berlangsung tertutup, Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Tedjo Edhy Purdijatno pun tidak diperkenankan ikut.
Intinya Aquino meminta pengampunan terhadap Mary Jane Fiesta Veloso, terpidana mati kasus penyelundupan heroin lewat bandara Adisoetjipto Yogyakarta. Upaya hukum dilakukan mulai dari permohonan grasi hingga dua kali permohonan Peninjauan Kembali di Pengadilan Negeri Sleman.
PK pertama ditolak oleh Mahkamah Agung karena dianggap tidak memuat novum. Permohonan PK kedua diajukan menjelang eksekusi pada Senin (27/4/2015) tetapi langsung ditolak oleh PN Sleman pada sore harinya mengacu poin ketiga Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 bahwa PK hanya bisa diajukan satu kali.
Jika menengok ke belakang, Presiden Jokowi berulangkali menyampaikan bahwa hukuman eksekusi mati adalah masalah kedaulatan hukum RI. Pemerintahan Jokowi menyatakan perang terhadap kejahatan narkoba - dengan sebutan darurat narkoba - yang membuat 50 generasi muda meninggal dunia setiap hari.
Anehnya saat berhadapan dengan Aquino, Jokowi tidak langsung memberi jawaban seperti itu tetapi minta waktu hingga sore hari dengan alasan berdiskusi lebih dulu dengan Jaksa Agung yang memiliki wewenang eksekusi. Jawaban untuk Aquino akan disampaikan melalui telepon oleh Jokowi atau Menteri Luar Negeri RI Retno L.P Marsudi.
Setelah tiba di Jakarta, presiden buru-buru kembali ke Istana Kepresidenan. Tidak diketahui apakah Jokowi bertemu Jaksa Agung atau tidak. Yang pasti malam harinya ketika ditanyakan kembali jawaban untuk Aquino, presiden menyerahkan kepada Menlu yang masih berada di Malaysia untuk menyampaikan jawaban itu kepada Presiden Aquino.
Nah, jawabannya seperti apa? "Yes or No", Jokowi tetap merahasiakan. Minimal ada empat pihak yang mengetahui jawaban itu yakni Presiden Jokowi, Jaksa Agung Prasetyo, Menlu Retno L.P Marsudi dan Presiden Aquino, jika sudah menerima jawaban.
Walaupun masih rahasia, presiden memberi sinyal bahwa permohonan pengampunan Mary Jane bakal ditolak. Pasalnya setiap hari ada 50 generasi muda setiap hari atau 18.000 dalam setahun meninggal dunia karena narkoba. Jumlah itu tidak sebanding dengan segelintir orang gembong pengedar narkoba.
Selain itu masih ada ribuan orang tersiksa karena sakau di panti rehabilitasi. Presiden menyayangkan hal seperti itu tidak ditonjolkan dalam pemberitaan melainkan hanya segelintir orang yang akan dieksekusi mati. "Jangan dibandingkan satu dengan 18.000 itu," kata presiden di TVRI kemarin.