Kabar24.com, JAKARTA—Meskipun sejumlah kasus telah terbongkar, tindakan 'pemerasan' terhadap pengusaha di daerah disinyalir masih banyak terjadi hingga dewasa ini.
Sofjan Wanandi, Ketua Tim Ahli Ekonomi Wakil Presiden, mengatakan hal itu menjadi pekerjaan rumah (PR) besar kita bersama untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih.
“Revolusi Mental yang sedang dicanangkan Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla saat ini diharapkan mampu menghapus fenomena itu,” ujar mantan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ini.
Menurutnya, menjadi seorang pengusaha di daerah berada pada posisi dilematis antara memenuhi permintaan 'ini-itu' oknum pejabat atau tidak mengikuti 'permainan' itu tetapi pemerintah daerah dipastikan tidak akan mendukung usaha yang dijalankannya.
Jika memenuhi 'permintaan', maka pengusaha tersebut harus siap-siap tersangkut urusan pelik dengan pihak berwenang.
Hal itu kita bisa lihat pada fenomena ditangkapnya pengusaha nasional Siti Hartati Murdaya Poo, Direktur PT Media Karya Sentosa Antonius Bambang Djatmiko, dan Direktur Papua Indah Perkasa Teddy Renyut oleh KPK beberapa waktu lalu.
Sofjan menambahkan kalau pemimpin di daerah berperilaku baik, maka daerah tersebut akan maju karena pengusaha akan mendukung melalui proses usaha.
Di bawah sistem yang ada, hubungan pribadi dengan pejabat daerah sangatlah penting. Secara tertulis, semua pebisnis mendapat kesempatan yang sama untuk menjalankan bisnis di daerah, namun secara praktik tidak demikian.
Ada perbedaan persepsi antara pebisnis dan penegak hukum. Jika dipandang dari sisi publik, Hartati, Bambang, dan Teddy adalah korban pemerasan.
Hartati diperas Bupati Buol Amran Batapilu, Bambang dibegal Bupati Bangkalan Fuad Amin, sedangkan Teddy oleh Bupati Biak Nomfur Yesaya Sombuk. Uang miliaran terpaksa diberikan agar perusahaan mereka tidak diganggu.
Apabila Hartati telah menjalankan hukumannya, Bambang dan Teddy sendiri sedang menjadi terdakwa di sidang tipikor minggu.
Investasi di daerah seolah menjadi zero sum game. Pebisnis harus dihadapkan pada dua pilihan, mengikuti sistem yang ada, berbisnis dengan risiko dipandang sebagai penyuap, atau berusaha main dengan aturan normatif, dengan risiko tidak mendapatkan hasil.
Penangkapan Teddy dan Bambang karena keduanya merasa dirinya dan perusahannya terancam karena berbagai tekanan hanyalah gunung es dari segudang persoalan yang belum terselesaikan.
Di bawah sistem yang ada saat ini, pebisnis hanya bisa pasrah mengikuti sistem yang ada. Mengkriminalkan pebisnis akan memperburuk iklim investasi di Indonesia.
Musuh terbesar Indonesia saat ini adalah birokrasi. Siapa yang ingin berinvestasi di daerah jika risikonya ditangkap KPK karena penyuapan padahal secara praktik, diperas?