Kabar24.com, JAKARTA - Pemerintah Republik Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo secara jelas dan tegas telah melakukan pendekatan komprehensif, dengan prioritas di bidang ekonomi, pada Republik Rakyat China (RRC) yang dibuktikan dengan beberapa inisiasi kunjungan resmi ke negara ini.
China menjadi tujuan pertama kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke luar negeri. Dalam kunjungannya tersebut, ia memperkenalkan mengenai ide poros maritim dunia dan prioritas implementasi diplomasi ekonomi sebagai fokus kebijakan luar negeri.
Kebijakan dan keputusan politik internasional pemerintahan kali ini seolah mengingatkan kembali pada romantisme masa lalu hubungan Pemerintah Republik Indonesia (RI)-RRC.
Menurut laman Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Hubungan diplomatik RI-RRC dimulai 13 April 1950, atau 6 bulan setelah berdirinya RRC sebagai negara dengan sistem pemerintahan satu partai.
Lima tahun kemudian diselenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, tepatnya pada 18 April 1955, dengan tujuan formal untuk memperkuat solidaritas negara-negara yang baru merdeka di Asia dan Afrika sekaligus menentang kolonialisme.
China menjadi salah satu dari 29 negara peserta yang hadir pada saat itu. KAA Bandung 1955 dihadiri oleh Perdana Menteri China Zhou Enlai beserta delegasi.
Peran China dalam KAA Bandung 1955 adalah mengemukakan Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai (the Five Principles of Peaceful Co-Existence) yang pertama kali diperkenalkan pada Desember 1953 dan menjadi salah satu fokus kebijakan luar negeri China pada saat itu.
Menurut laman Kementerian Luar Negeri China, lima prinsip tersebut adalah saling menghormati integritas teritorial dan kedaulatan, perjanjian non-agresi, tidak mengintervensi urusan dalam negeri negara lain, kesetaraan dan keuntungan bersama serta menjaga perdamaian.
Namun, keterlibatan China di kancah negara-negara peserta KAA berkurang secara perlahan, terutama setelah China memutuskan untuk hanya berperan sebagai negara pengamat dalam Gerakan Non-Blok (GNB) yang merupakan kelanjutan dari KAA.
Walapun begitu hubungan RI-RRC tetap terjalin dengan baik pada 1962-1965, terutama setelah Indonesia memutuskan untuk keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kedua negara menjalin kemitraan dalam mengembangkan solidaritas di negara-negara New Emerging Forces (NEFO).
Hubungan diplomatik RI-RRC sempat dibekukan pada 30 Oktober 1967, namun dilanjutkan kembali dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MoU) RI-RRT di Jakarta pada 8 Agustus 1990.
Pada masa itu, RRT telah mengalami pertumbuhan ekonomi pasca reformasi ekonomi yang dilakukan oleh Deng Xiaoping pada 1978 dan terus memanfaatkan kelebihan demografis untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dua digit tiap tahun.
Pasca MoU 1990, hubungan RI-RRC tidak mengalami pasang surut seperti sebelumnya, bahkan cenderung positif. Beberapa contohnya adalah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang melakukan pendekatan internal terhadap kaum keturunan China dan diplomasi dansa Presiden Megawati Sukarnoputri dan Presiden Jiang Zemin yang mencuri perhatian.
China yang memiliki 1,35 miliar penduduk dengan diaspora yang luar biasa, pada saat ini telah menjelma menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan militer besar di Asia dan dunia.
Kerja sama kontemporer
Salah satu wujud kerja sama Pemerintah RI dengan RRC yang paling kontemporer adalah kesepakatan kerja sama di delapan bidang yang dihasilkan selama kunjungan Presiden Jokowi ke China pada 25-27 Maret 2015.
Penandatanganan MoU dilaksanakan di Great Hall of The People oleh para pejabat Indonesia dan China dan disaksikan oleh Presiden Jokowi dan Presiden Xi Jinping.
"Kita akan rancang rencana aksi lima tahun ke depan dan menerjemahkan hubungan ke dalam aksi yang konkret yang bisa bermanfaat bagi kedua negara," katanya.
Pada kesempatan kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi ke China, kedua negara sepakat untuk mengumumkan pernyataan bersama tentang hubungan strategis dan komprehensif kedua negara ke arah yang saling menguntungkan.
Ada delapan MoU yang ditandatangani yakni nota kesepahaman kerja sama ekonomi antara Kemenko Perekonomian RI dan Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional RRC, Nota kesepahaman kerja sama Proyek Pembangunan Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung antara Kementerian BUMN dan Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional RRT, dan Nota Kesepahaman kerja sama maritim dan SAR antara Basarnas dan Kementerian Transportasi RRC.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat komitmen investasi China senilai US$63,4 miliar dari hasil kunjungan presiden pada Maret lalu.
Kepala BKPM Franky Sibarani mengatakan rasio realisasi untuk komitmen investasi dari China cenderung kecil tetapi terus mengalami tren peningkatan sejak 2013.
Salah satu kerja sama baru yang coba diinisiasi oleh kedua negara adalah kerja sama di sektor maritim dengan menyinergikan kerangka ide Poros Maritim Dunia milik Indonesia dengan Jalur Sutra Maritim milik China.
Wujud kerja sama tersebut masih umum, yaitu mengundang investor China untuk berinvestasi di sektor maritim Indonesia, terutama pembangunan pelabuhan dan infrastruktur pendukungnya.
Majalah politik luar negeri untuk kawasan Asia-Pasifik, The Diplomat, menganalisis bahwa Indonesia sebaiknya tidak mengubah pendekatan terkait gesekan-gesekan yang sedang terjadi hanya demi mewujudkan kerja sama masif dengan China, seperti di konflik Laut China Selatan misalnya.
Indonesia harus memposisikan diri sebagai pihak yang netral dan mediator dalam sengketa Laut China Selatan. Keseimbangan harus dicapai antara melindungi kepentingan Jakarta dan memperkuat hubungan dengan Beijing, tulis The Diplomat.
Pada Peringatan KAA dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Afrika 2015, Xi Jinping termasuk dalam daftar kepala negara yang menyatakan hadir. Gebrakan kerja sama selanjutnya tentu akan ditunggu untuk menyonsong masa depan hubungan RI-RRT.