Bisnis.com, JAKARTA --Eksekusi mati gelombang kedua terhadap sejumlah terpidana narkoba hingga saat ini masih belum juga terlaksana.
Terlepas dari keberatan dari aspek HAM, tak kecil upaya negara asing yang warganya masuk dalam daftar eksekusi untuk membatalkan eksekusi tersebut.
Di antara negara yang menonjol dengan upaya pembatalan eksekusi itu, Australia dan Brazil mengekspresikan diri dengan caranya masing-masing.
Australia, melalui Menlu Julia Bishop dan PM Tonny Abbott menjalankan sejumlah upaya diplomatik dari cara halus sampai tidak bisa dikatakan halus lagi.
Di antara jurus diplomatik Australia itu adalah dengan menawarkan kerjasama, pertukaran tahanan, hingga (yang membangkitkan kekesalan) adalah dengan mengungkit bantuan yang telah diberikan Australia terkait bencana Tsunami di Aceh.
Sementara, Brazil tampil dengan gaya diplomasi yang tanpa basa basi. Presiden Brazil, yang kini sedang menghadapi ketidakpercayaan publik di negerinya sendiri, Dilma Rouseff langsung tancap gas dengan pernyataannya menolak eksekusi hukuman mati terhadap warganya.
Presiden bernama lengkap Dilma Vana Rousseff juga melakukan protes diplomatis yang tak lazim: menolak menerima surat kepercayaan dan berkuasa penuh Dubes RI Toto Riyanto.
Lantas, bagaimana perilaku para terpidana sendiri? Duo bali Nine yang berkewarganegaan Australia relatif tak bertingkah aneh-aneh dan menjalani semua proses yang sedang berlangsung.
Sementara terpidana dari negara lain, seperti Atlaoui warga Prancis memilh mengajukan PK dan sidangnya di Pengadilan Negeri Tangerang baru akan berlangsung pada 25 Maret 2015. Kedubes Prancis pun akan berjuang agar terpidana yang turut mengelola pabrik ekstasi di Tangerang itu lolos dari vonis mati.
Sementara, warga Brazil Rodrigo Gularte tampil dengan kondisi lain. Ia mengaku menderita schizoprenia dan keterangan soal penyakitnya itu datang dari dokter di Negeri Samba, Brazil.
Terkait itu, Kejaksaan Agung meyakini tidak benar bahwa terpidana mati asal Brasil atas nama Rodrigo Gularte, yang sebelumnya dikabarkan mengalami gangguan kejiwaan atau menderita penyakit bipolar.
Menurut Jaksa Agung HM Prasetyo, Rodrigo hanya pura-pura gila agar terhindar dari eksekusi mati yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
"Ternyata orang itu (Rodrigo) tidak sakit," tutur Prasetyo di Kejaksaan Agung Jakarta, Jumat (20/3/2015).
Prasetyo menuturkan beberapa pihak nantinya akan memberikan testimoni terkait Rodrigo yang ternyata tidak mengalami gangguan kejiwaan sama sekali.
"Nanti ada testimoni, beberapa pihak sebenarnya orang ini tidak sakit," kata Prasetyo.
Prasetyo juga menegaskan bahwa pihaknya tetap akan melakukan eksekusi mati terhadap Rodrigo.
Prasetyo mengatakan, tidak ada satupun halangan untuk dilakukan eksekusi mati terhadap seluruh terpidana mati, termasuk Rodrigo.
"Namun yang pasti memang untuk gangguan jiwa tidak satu halangan pun untuk eksekusi yang bersangkutan. Kecuali yang sedang hamil dan anak dibawah 18 tahun," tukasnya.
Lantas, kapan eksekusi dilakukan? Belum ada kepastian, yang pasti sejak mereka dipindahkan ke Nusakambangan, maka persiapan eksekusi di pulau khusus narapidana itu bisa diasumsikan sudah sangat siap.