Bisnis.com, BANDUNG -- Lembaga Swadaya Masyarakat Wahana Lingkungan Hidup menggugat putusan SP3 yang dikeluarkan oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat pada 20 Maret 2014 lalu atas kasus penambangan ilegal Perum Perhutani di sejumlah daerah di Kabupaten Bogor.
Pihak Walhi, pada Senin (16/3/2015) mengatakan putusan tersebut tidak berdasar pada fakta yang terjadi di lapangan.
Pengajuan gugatan ini telah masuk ke Pengadilan Negeri Bandung pada 13 Maret 2015 lalu, dan masih menunggu jadwal persidangan untuk acara perdata.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandung Arip Yogiawan mengatakan tahun lalu Polda Jabar mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas kasus penambangan Perhutani tersebut dengan mempertimbangkan pendapat saksi ahli.
Padahal pihak kepolisan bersama Walhi telah melakukan investigasi bersama.
"LBH menjadi kuasa hukum kasus ini karena Walhi mempunyai landasan yang kuat. Walhi punya 10 alat bukti untuk kasus ini, serta sejumlah saksi. Sementara polisi mengeluarkan kebijakan karena ada analisa izin Kerjasama Operasional (KSO) antara Perhutani dengan 12 perusahaan, " ujar Arip di Bandung.
Dengan kata lain, kepolisian hanya melihat fakta-fakta administratif. Arip juga menjelaskan izin KSO yang dimiliki Perhutani hanya berisikan aktivitas reklamasi hutan yang seharusnya hanya berupa rehabilitasi dan tidak ada penambangan di sana.
Selain itu, Dinas Kehutanan Jawa Barat telah mengeluarkan larangan aktivitas pertambangan Perum Perhutani di kawasan tersebut karena tak memilik izin.
Ketua Advokasi Wahana Lingkungan Jawa Barat (Walhi) Jawa Barat Wahyu Widiyanto mengungkapkan keputusan Polda Jabar hanya dititikberatkan pada keterangan saksi yang meliputi ahli dari Institut Pertanian Bogor, pihak Kementerian Pertanian, dan ahli hukum pidana dari Universitas Parahyangan.
"Pasal 50 huruf G Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan telah mengatakan bahwa pertambangan harus ada Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan (IPPKH). Kami menduga Polda Jabar telah mengaburkan kasus dant idak menyentuh persoalan yang sebenarnya, yaitu penambangan ilegal," ujar Widi.
Widi mengutarakan dari 12 perusahaan yang telah dilaporkan sebelumnya atas tindakan penambangan, masih ada beberapa yang melakukan penambangan sampai sekarang. Salah satunya PT Lumbung Mineral Sentosa, berdasarkan investigasi Walhi pada Februari 2015 lalu.
"Perusahaan tersebut melakukan penambangan galena untuk timah hitam dan emas. Bahkan sudah mencoba membangun shelter sekitar 50 hektare," ujar Widi.
Sementara itu, perusahaan lain belum diketahui karena kawasan penambangan cukup sulit untuk ditempuh.
Menurut Walhi, lokasi pertambangan 12 perusahaan tersebut sendiri tersebar di beberapa titik meliputi RPH Cariu, Cigudeg, Cirangsad, Jagabaya, Tinggarjaya dan Gunung Karang masuk Jonggol.
Widi mengatakan nilai penambangan ilegal Perhutani bersama 12 perusahaan tersebut bernilai sedikitnya Rp78 miliar untuk keseluruhan selama lima tahun penambangan.
Hal tersebut terlihat dari papan informasi di depan area pembangunan yang menyampaikan nilai pengerjaan setiap tonnya.
"Perhutani mendapat uang muka, biaya reklamasi dan rehabilitasi, serta hasil penambangan."
Menurut Widi hal tersebut bertentangan dengan pasal 38 ayat (3) UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No.19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi UU. Perhutani dan 12 perusahaan tersebut terancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Di lain pihak, Sekretaris Biro Perum Perhutani Jawa Barat Ananda Artono mengatakan kepada Bisnis, Senin (16/3), persoalan antara pihaknya dengan Walhi telah selesai.
"Kasus tersebut telah lama selesai. Kalau Walhi masih belum puas, itu hal yang biasa," ujar