Kabar24.com, JAKARTA -- Gulat Medali Emas Manurung, tersangka kasus penyuapan alih fungsi hutan, ternyata dikenal sebagai bendahara tak resmi Gubernur Riau non-aktif.
Hal itu disampaikan Pemimpin Redaksi Koran Riau Edi Ahmad RM yang menjadi saksi dalam sidang dugaan tindak pidana korupsi pemberian uang sekitar Rp2 miliar kepada Gubernur Riau Annas Maamun dari pengusaha Gulat Medali Emas Manurung untuk mendapatkan surat revisi perubahan luas bukan kawasan hutan di provinsi Riau.
"Pak Gulat ini adalah bendahara tidak resmi Pak Annas selama calon Gubernur Riau, kenapa tidak resmi, karena tidak punya SK (Surat Keputusan)," kata Edi saat bersaksi dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (22/12/2014).
Edi menjadi saksi untuk terdakwa Gulat Medali Emas Manurung. Ia mengaku kenal Gulat sejak pertengahan 2012 ketika keduanya masuk dalam tim pemenangan Gubernur Riau.
Edi pun diajak Gulat pada 23 September 2014 untuk menemui Annas di jakarta.
"Tanggal 23, hari Selasa, saudara Gulat datang ke rumah saya bersama seorang teman namanya Hamzah, dia menyampaikan mengajak saya ke Jakarta untuk mengantarkan titipan untuk Pak Annas, yang saya paham titipan itu biasanya uang," ungkap Edi.
Namun Edi mengaku tidak tahu tujuan pemberian uang tersebut.
"Saya tidak tahu (untuk apa), selama ini memang setiap kebutuhan Pak Annas mulai dari pencalonan Gubernur, selalu beliau (Annas) minta bantu ke Gulat. Bahkan setelah jadi gubernur pun dia kalau ada keperluan minta bantu," jelas Edi.
Permintaan bantuan kepada Gulat itu karena Annas belum pernah menggunakan uang perjalanan dinas.
Sedangkan pada 25 September, Gulat dan Annas ditangkap dalam operasi tangkap tangan KPK di rumah Annas di Perumahan Citra Gran Blok RC 3 No 2 Cibubur Jawa Barat dengan barang bukti 156.000 dolar singapura dan Rp60 juta.
Bahkan Edi mengaku bahwa Gulat pernah juga memberikan uang Rp200 juta agar kasus pelecehan yang dilaporkan dilakukan Annas tidak diberitakan.
"Dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) di sini disebutkan ada pemberian uang Rp200 juta oleh terdakwa untuk Metro TV?" tanya anggota majelis hakim Joko Subagyo.
"Iya, Annas mengatakan katanya tentang pelecehan jangan sampai ditayangkan di Metro TV, tapi itu bukan ke Metro TV tapi untuk Kahfi Siregar," jawab Edi.
Kahfi Siregar pernah menjabat sebagai salah satu tim media center Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli saat pasangan tersebut maju dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012.
Sedangkan kasus pelecehan dilaporkan oleh seorang perempuan bernama Wide Wirawaty pada September 2014.
"Mengapa diberikan ke Anda?" tanya hakim Joko.
"Karena kan saya kan orang media, tapi (meski diberikan Rp200 juta), ternyata gagal," jawab Edi.
Seusai sidang, Edi mengaku bahwa uang tersebut bukan hanya diberikan kepada Metro TV tapi juga media lokal dan media nasional di Jakarta.
"Kebetulan aku kenal sama Kahfi, dia kan mantan wartawan cek and Ricek, aku kenal sama dia, aku minta bantu sama dia untuk jangan ditayangkan," kata Edi seusai sidang.
Orang yang mengirimkan uang adalah anak buahnya bernama Azril ke rekening Kahfi.
"Pak Annas yang telepon, Ed tolong bantu pemberitaan isu pelecehan seksual itu tidak ditayangkan. Dari Gulat itu Rp200 juta kumintakan tolong ke Kahfi di Jakarta, kusebar-sebarkan. Dari Kahfi dipecah-pecah jadi tidak Rp200 juta, satu rupiah pun tidak kuambil," tambah Edi.
Dalam perkara ini, Gulat diancam pidana dalam pasal 5 ayat 1 huruf b subsider pasal 13 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur mengenai memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.