Bisnis.com, JAKARTA - Disparitas kebijakan moneter diantara bank sentral negara maju berpotensi memperkecil intensitas guncangan perekonomian dalam negeri saat suku bunga acuan Amerika Serikat mulai naik.
Meski begitu, hal ini bukan berarti menghilangkan sama sekali efek kenaikan suku bunga AS mengingat besarnya nilai stimulus moneter Federal Reserve (the Fed) yang mengisi pasar uang dan modal global, termasuk Indonesia.
"Harapannya begitu, meski kalau stimulus bank sentral lain tetap tidak seagresif the Fed (Bank Sentral AS Federal Reserve)," kata Kepala Ekonom PT Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih pada Bisnis.
Sebelumnya, the Fed membuka prospek kenaikan fed funds rate pada akhir tahun ini dari posisi 0,25%. Langkah tersebut didahului oleh tapering off atau penghentian stimulus moneter melalui pembelian obligasi pemerintah. Tujuannya untuk menggenjot perekonomian AS yang ambruk pascakrisis 2008.
Alih-alih berputar di pasar domestik, uang program pembelian obligasi ini--yang dikenal dengan quantitative easing (QE)--mengalirkan hot money dalam jumlah besar ke pasar uang dan pasar modal negara berkembang. The Fed menggelontorkan paling tidak US$85 miliar per bulan untuk membeli obligasi.
Lana mengatakan, berhentinya QE juga berarti berpotensi menciutkan aliran investasi portofolio asing. Di sisi lain, saat AS berancang-ancang mengetatkan dosis moneternya, kini Eropa dan Jepang justru menggelontorkan stimulus guna menyelamatkan perekonomian masing-masing.
Bank of Japan (BoJ) misalnya, Oktober lalu memutuskan menambah pelonggaran moneternya dengan menambah kucuran dana stimulus menjadi 80 triliun yen atau setara dengan US$724. Sebelumnya, dukungan moneter itu hanya menvapai 60 triliun-70 triliun yen.
Setali tiga uang, European Cental Bank (ECB) justru dikabarkan hendak menambah stimulus dan memperluas cakupannya. ECB memompakan stimulus senilai 12,7 miliar euro (US$15,8 miliar) dan juga bisa menggelar operasi stimulus dengan membeli surat utang pemerintah.
Kehadiran hot money dari kedua bank sentral itu, kata Lana, bisa sedikit mengompensasi likuiditas global yang menciut pascakeputusan the Fed mengakhiri QE-nya. "Ini sudah mulai kelihatan, belakangan ini banyak investor Jepang yang membeli obligasi pemerintah," katanya.