Bisnis.com, PADANG—Pelaku industri perhotelan di Sumatra Barat meyakini jika himbauan pemerintah agar pemda tidak menggelar rapat dan pertemuan di hotel dilaksanakan, bisa menyebabkan depresiasi sektor MICE hingga 40% lebih.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumbar Maulana Yusran memastikan jika himbaun itu dijalankan akan memukul industri perhotelan, terutama sektor meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE) yang mulai tumbuh di Sumbar.
“Jelas pengaruhnya besar terhadap industri perhotelan, bisa kolaps. Karena sebagian besar hotel di Sumbar masih bergantung dengan kegiatan pemda,” katanya kepada Bisnis.com, Selasa (11/11/2014).
Dia menyebutkan tidak anti dengan rencana pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran. Namun tidak serta merta dilakukan dengan cara menghentikan seluruh pelaksanaan rapat dan pertemuan yang digelar pemda di hotel.
Menurutnya, pemerintah harus melakukan kajian kembali karena industri perhotelan erat kaitannya dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan dan terkait dengan sektor lain, seperti pariwisata, industri kreatif, jasa, dan sektor pertanian.
Kalau kebijakan tersebut menyebabkan industri hotel lumpuh, maka secara tidak langsung juga melumpuhkan sektor-sektor lainnya.
“Ini [dampak turunannya] juga mesti diperhitungkan pemerintah. Jangan untuk mencari solusi satu persoalan tetapi memunculkan masalah baru. Harus dikaji lagi,” katanya.
Dia menuturkan industri MICE di Sumbar masih didominasi kegiatan pemerintah yang kontribusinya mencapai 40% lebih. Bahkan sejumlah hotel justru memprioritaskan pasar government MICE sebagai pangsa utama.
Saat ini, menurut Maulana, jumlah hotel yang tergabung di PHRI Sumbar mencapai 300 unit, 40 di antaranya adalah hotel berbintang dengan ketersediaan kamar melebihi angka 4.000 unit.
Jumlah itu masih potensial bertambah mengingat sejumlah hotel baru tengah dibangun dan beberapa manajemen hotel telah mendapatkan izin untuk membangun hotel di Padang, Bukittinggi, Pariaman, dan daerah lainnya.
Jamal Muhammad, General Manager Ibis Hotel Padang mengakui kontribusi kegiatan pemerintah terhadap hotel yang dikelolanya terbilang besar, sehingga jika aturan itu dilaksanakan akan berpengaruh terhadap okupansi.
“Kontribusinya di atas 50%. Saya kira hotel-hotel lain juga demikian. Pemerintah perlu mempertimbangkan itu,” katanya.
Dia menyebutkan bulan November dan Desember mestinya adalah puncak kegiatan pemerintah di industri perhotelan. Imbauan itu, diyakini bisa menyebabkan penurunan okupansi.
Sementara itu, General Manager Mercure Hotel Padang Dodit Hapsono menilai himbauan itu harus disikapi dengan kreatifitas pemerintah daerah dan pengelola hotel untuk meningkatkan kunjungan dari sektor swasta.
Pemerintah, katanya, perlu memberikan stimulus agar kegiatan swasta terutama di sektor pariwisata lebih menggeliat, sehingga industri hotel tidak memiliki ketergantungan tinggi terhadap pemerintah.
Dodit menyebutkan pasar Mercure didominasi konsumen korporasi yang mencapai 50%. Kontribusi pemerintah hanya berkisar 20%, sisanya adalah konsumen individu.
Dia memperkirakan himbauan itu tidak serta merta diikuti pemda, sebab ada kegiatan-kegiatan pemda yang tidak bisa digelar di kantor. “Seperti ekspo, mau tidak mau di hotel, karena tempat mereka kan juga terbatas,” ujar Dodit.
Data BPS Sumbar per September 2014 menyebutkan tingkat okupansi hotel berbintang di provinsi itu mengalami penurunan menjadi 49,56%, sementara bulan sebelumnya okupansi masih 52,55%.
Untuk Kota Padang okupansi juga hanya 56,25%, turun dari bulan sebelumnya yang mencapai 57,66%, atau jauh lebih rendah dari okupansi periode yang sama tahun 2013 yang mencapai 68,02%.
Namun, Kepala BPS Sumbar Yomin Tofri berpendapat penurunan itu disebabkan minimnya kegiatan pemerintah dan swasta di bulan September.
“Biasanya akhir tahun kembali melonjak, apalagi didukung dengan event-event yang digelar oleh Pemda, biasanya malah jumlah kamar yang tersedia tidak mencukupi,” katanya.