Bisnis.com, PEKANBARU - Sektor minyak dan gas bumi (migas) membebani pertumbuhan ekonomi Riau pada kuartal ketiga tahun ini menjadi hanya 1,73% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Mawardi Arsyad, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Riau, mengatakan menurunnya produksi migas menyebabkan sektor pertambangan dan penggalian berkontribusi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Riau pada kuartal ketiga tahun ini.
“Terus menurunnya produksi migas menyebabkan pertumbuhan ekonomi Riau selalu di bawah pencapaian nasional,” katanya di Pekanbaru, Rabu (5/11/2014).
BPS mencatat kinerja negatif subsektor migas membuat kontribusi sektor pertambangan dan penggalian terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Riau pada Januari-September 2014 turun 1,99% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Padahal, kontribusi subsektor lain dari pertambangan dan penggalian mampu tumbuh 6,3% pada rentang waktu yang sama.
Apabila mengeluarkan subsektor migas dalam penghitungan PDRB provinsi itu, maka pertumbuhan ekonomi Riau pada kuartal ketiga tahun ini mencapai 6,41% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Mawardi menuturkan belum stabilnya perdagangan karet dan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) juga berdampak pada melambatnya pertumbuhan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB. Pasalnya, sebagian besar kontribusi sektor pertanian berasal dari komoditas kelapa sawit dan karet.
Pada kuartal ketiga tahun ini, sektor perdagangan, hotel dan restoran mencatatkan pertumbuhan tertinggi hingga 10% dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Hal tersebut menunjukkan pergeseran aktivitas ekonomi masyarakat ke arah yang penyediaan barang dan jasa.
Menurutnya, hingga kini Riau masih menjadi daerah yang menyumbang PDRB tertinggi di Sumatra dengan porsi 28,39%, di atas Sumatra Utara yang mencapai 22,2% dan Sumatra Selatan dengan 13%.
“Secara nasional, kontribusi PDRB Riau mencapai 6,71%, yang artinya dua kali lipat lebih tinggi dari rata-rata porsi yang disumbangkan provinsi lain,” ujarnya.
Sementara itu, Hanif Rusjdi, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Wilayah Sumatra Bagian Utara, mengatakan penurunan produksi minyak di Riau disebabkan belum adanya cadangan baru yang dapat diambil sebagai tambahan produksi.
Selama ini, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) terhambat persoalan perizinan untuk memulai kegiatannya, sehingga hanya mengandalkan dari kegiatan operasional yang sudah dilakukan.
Dia mencontohkan PT Sarana Pembangunan Riau yang terhambat izin lingkungan untuk meningkatkan produksi minyak dari Blok Langgak.
SKK Migas sendiri mencatat lifting minyak bumi dari Riau saat ini mencapai 40% dari total lifting nasional sebanyak 815.000 barel per hari.
Produksi minyak dari sejumlah KKKS yang beroperasi di Riau juga masih belum mencapai target yang telah ditetapkan dalam program kerja dan anggaran atau work program and budget (WP&B) tahun ini.
PT Chevron Pacific Indonesia saja baru mencapai 296,940 barel per hari, atau sekitar 98% dari target produksi yang ditetapkan sebanyak 303.000 barel per hari, sedangkan Badan Operasi Bersama PT Bumi Siak Pusako-Pertamina Hulu 13.551 barel per hari atau sekitar 93% dari target 14.571 barel per hari.
Kemudian Energi Mega Persada (EMP) Malacca Strait baru mampu memproduksi 5.157 barel minyak per hari, atau sekitar 80% dari target 6.447 barel per hari.