Bisnis.com, JAKARTA - Menjelang implementasi Asean Economic Community (Masyarakat Ekonomi Asean/MEA) pemimpin negara-negara Asean didesak mengelola kebijakan-kebijakan yang berorientasi reformasi domestik.
Ketua Asian Development Bank Institute (ADBI) Naoyuki Yoshino menyampaikan reformasi domestik harus dilakukan, sebagai kunci membangun negara yang siap menghadapi kesepakatan pasar tunggal tersebut.
Pertama, negara harus memastikan pertumbuhan berkelanjutan. Kedua, mereformasi kebijakan pajak (tax reform policy), dan ketiga, negara harus memastikan setiap warga negara mendapat pendidikan layak serta kesempatan bekerja, jelas Yoshino pada Bisnis di Jakarta, Jumat (5/9/2014).
Yoshino mencontohkan saat ini akibat kebijakan pajak Indonesia yang dinilai kurang memberi benefit, sebagian masyarakat memutuskan untuk meletakkan uang dan investasinya di Singapura. Padahal, perputaran uang di pasar domestik amat krusial perannya bagi pembangunan.
Adapun khusus untuk mengembangkan ekonomi, Yoshino menyampaikan, kunci utamanya adalah penetapan kebijakan makroekonomi dan finansial yang stabil.
Dia juga menegaskan di balik berbagai langkah persiapan yang harus dilakukan, negara-negara Asean harus terlebih dahulu menjaga stabilitas politiknya. Tanpa stabilitas politik yang kondusif, berbagai kebijakan akan sulit diimplementasikan.
Dalam studi CSIS dan ADBI, diprediksikan negara-negara Asean akan berpendapatan total US$5,4 triliun pada 2030 mendatang, jika mampu mencari benefit sebanyak-banyaknya dari penerapan pasar tunggal.
Tanpa penerapan kebijakan yang sesuai, negara-negara Asia Tenggara dapat terjebak pada negara berpendapatan menengah (middle income trap), tukas Yoshino.
Pada 2010, pendapatan domestik bruto (PDB) total negara-negara Asean adalah US$1,8 triliun dengan jumlah populasi sekitar 600 juta jiwa. Pendapatan negara-negara Asean pada 2030 diprediksikan tiga kali lebih besar dari pendapatan saat ini, dengan jumlah total populasi sekitar 713 juta jiwa.
Adapun Indonesia diprediksikan berpendapatan US$2,1 triliun pada 2013 mendatang, dari US$708 miliar pada 2010 dengan asumsi rata-rata pertumbuhan ekonomi 5,5% per tahunnya.
Faktor lain yang menjadi rekomendasinya pada negara-negara Asia Tenggara Khususnya Indonesia yaitu penyediaan long time capital market atau pasar modal jangka panjang, mengingat saat ini negara-negara Asean sedang dalam tahap pembangunan.
Pasar finansial yang efisien harus terus dikembangkan untuk mendukung sektor-sektor riil, seperti pembangunan infrastruktur. Juga jangan sampai UMKM sulit mengakses pasar finansial, kata Yoshino.
Mendekati 2015, berbagai kalangan menyatakan ketidakyakinannya atas daya saing UMKM dalam negeri. Pasalnya, tanpa dukungan pemberi modal, akan sulit bagi UMKM dalam negeri menjaga produktivitasnya.
Merespons hal ini, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Danuri merekomendasikan penyediaan fasilitas single window bagi para pelaku UMKM.
Rizal menyampaikan saat ini sebaiknya masyarakat Indonesia berfokus pada benefit yang didapat dari penyelenggaraan pasar tunggal. Ia menilai, jika memaksimalkan peran, MEA akan mengerek pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Kita hanya melihat efek liberalisasi. Padahal ada reform part yang tercantum di blueprint. Selain pelaku bisnis, pemerintah negara-negara Asean juga terdorong berlomba-lomba mereformasi ekonomi negaranya, jelas Rizal di kesempatan yang sama.