Bisnis.com, JAKARTA-- Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 mengenai pelegalan aborsi bagi perempuan korban pemerkosaan, telah menjadi kontroversi.
"Kontroversi mengenai PP ini harus diakhiri. Sebab, sejumlah kementerian dan lembaga negara tidak memiliki perspektif yang sama terhadap PP itu, bahkan bertentangan. Kondisi ini akan merugikan upaya perlindungan perempuan dan optimalisasi perlindungan anak," kata Giwo Rubianto Wiyogo, pemerhati masalah perlindungan anak, di Jakarta, Selasa (2/9/2014).
Menurut mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ini, pemerintah harus duduk bersama. Dalam hal ini kementerian dan lembaga negar,a serta tokoh agama dan masyarakat umum, untuk membahas secara khusus, terutama dalam memahami PP tersebut.
"Sehingga tidak menimbulkan simpang siur, bahkan dikhawatirkan menimbulkan keresahan masyarakat. Memang semua kebijakan sering menimbulkan sisi perbedaan tafsir. Namun, dalam PP ini perlu dilihat secara komprehensif," ungkap Giwo.
Dia menuturkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai tindakan aborsi, menyebutkan bahwa aborsi menjadi tidak dilarang apabila keberadaan si bayi, megancam keselamatan jiwa dan raga ibunya.
Sementara itu jika tindakan tersebut dilakukan tanpa ada dasar dan alasan jelas, aborsi adalah ilegal.
Menurut Menteri Kesehatan, katanya, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi ini tetap membatasi, bahwa aborsi hanya bisa dilakukan dalam kondisi darurat medis, dan kasus pemerkosaan.
Baik undang-undang maupun PP mengatakan bahwa aborsi dilarang. Kecuali untuk dua keadaan, yaitu gawat darurat medik, dan kehamilan akibat pemerkosaan.
PP ini, lanjut Giwo, merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam perspektif perlindungan anak, memang masih terjadi perdebatan.
"Sebab, aborsi meski bagi janin berusia 40 hari dari korban perkosaan, tetap bertentangan dengan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," umgkapnya.
Dalam UU itu, katanya, disebutkan meski masih dalam kandungan, janin tetap memiliki hak hidup dan kelangsungan hidup. "Sedangkan aborsi bertentangan dengan kelangsungan hidup," ujar Giwo.