Bisnis.com, JAKARTA -- Tetap kukuhnya pemerintah sekarang untuk tidak memangkas subsidi bahan bakar minyak serta kebijakan pengendalian kuota konsumsi BBM yang menimbulkan keresahan di masyarakat mencerminkan watak dan ciri kepemimpinan SBY yang hanya mementingkan citra.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadil Hasan dalam sebuah diskusi bertajuk RAPBN 2015; Pertaruhan Kredibilitas Bagi Presiden dan DPR Baru mengatakan selama ini ada pertumbuhan ekonomi namun tidak tahu arah pembangunannya karena tidak ada stimulus fiskal akibat tersanderanya APBN untuk subsidi BBM.
Program dan intervensi anggaran itu refleksi watak dan ciri kepemimpinan presidennya, tidak berani mengambil risiko, ujarnya.
Senada, peneliti Indef Imaduddin mengatakan keberpihakan pemerintah tercermin dari politik anggaran.
Walaupun dengan dalih baseline, dalam RAPBN yang disusun pemerintah sekarang untuk pemerintah mendatang pun terlihat anggaran pemerintah pusat didominasi oleh pelayanan umum, yakni sebesar 68,1%.
Besarnya anggaran pelayanan umum tidak terlepas dari membengkaknya subsidi energi dan rencana kenaikan gaji pokok.
Menurutnya, dari alokasi anggaran tersebut terlihat pemerintah lebih mengutamakan subsidi BBM yang 94% dinikmati orang kaya ketimbang untuk masyarakat miskin melalui fungsi kesehatan dan pendidikan.
Pemerintah juga abai terhadap upaya menggenjot perekonomian yang tercermin dari rendahnya alokasi pada fungsi ekonomi, tegasnya.
Selama pemerintahan SBY, anggaran subsidi BBM mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada 2009, anggaran untuk subsidi BBM senilai Rp45 triliun atau sangat jauh dari anggaran pada 2014 yang telah mencapai Rp246,5.
Alih-alih mengurangi, seperti yang diungkapkan keinginan beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, pada RAPBN pun pemerintah sekarang mematok anggaran subsidi BBM yang lebih tinggi, yakni senilai Rp291,1 triliun.
Imaduddin mengungkapkan berbagai kebijakan pengendalian subsidi BBM seperti pemasangan stiker mobil dinas, pemasangan RFID, dan pembatasan lokasi dan waktu distribusi BBM tidak efektif.
Direktur Indef Enny Sri Hartati menyayangkan kebijakan-kebijakan yang selama ini diambil SBY, apalagi terkait pengendalian BBM. Menurutnya, kebijakan yang diambil selalu reaktif dan hanya berdampak dalam jangka pendek.
Tidak mungkin suatu kebijakan reaktif dan jangka pendek. Tidak mungkin dan tidak rasional, ujarnya.
Kondisi tersebut juga terlihat dari reaktifnya pemerintah untuk melakukan normalisasi.
Komitmen penjagaan kuota pun kembali diabaikan dengan dalih kebutuhan masyarakat yang bersifat mendesak. Nanti tiba-tiba bisa jadi keluar Perppu.