Bisnis.com, JAKARTA—Ketimpangan tinggi di sektor pendidikan serta krisis akibat perubahan iklim di kawasan Asia—Pasifik dapat menjadi faktor yang menyebabkan kelompok masyarakat jatuh dalam kategori miskin kembali. Pemerintah di negara-negara tersebut didesak untuk mereformasi sistem pendidikan dan membangun proteksi sosial.
Hal itu disampaikan United Nations Development Programme (UNDP) dalam laporan terbarunya Sustaining Human Progress: Reducing Vulnerabilities and Building Resilience yang terbit pada Juli.
Badan PBB itu menyatakan ketimpangan yang tinggi, bencana alam terkait dengan perubahan iklim dan krisis lainnya mengancam pembangunan manusia di Asia—Pasifik.
“Pemerintah harus berkomitmen dalam penyediaan sosial dasar universal dan perlindungan sosial, terutama untuk kelompok miskin dan rentan,” demikian keterangan resmi UNDP.
“Negara-negara di Asia Pasifik tak perlu menunggu menjadi kaya untuk memberikan perlindungan itu.”
Laporan itu memaparkan lebih dari 1 miliar orang hidup di atas garis kemiskinan ekstrim, yakni memeroleh lebih dari US$1,25 tetapi kurang dari US$2,50 per hari. UNDP menegaskan orang-orang yang menghadapi pelbagai kerentanan itu sangat berisiko jatuh kembali ke dalam kemiskinan jika bencana atau krisis terjadi.
UNDP juga menyoroti kurang layaknya pekerjaan yang dibayar dengan baik—terutama kaum muda—sehingga menjadi tantangan utama di Asia dan Pasifik. Di banyak negara di wilayah tersebut, pengangguran kaum muda relatif tinggi yakni Iran (23%), Indonesia (22%), Sri Lanka (17%), Filipina dan Samoa (16%) serta Timor-Leste (14%).
Nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rata-rata untuk wilayah tersebut adalah 0,588, atau di bawah rata-rata dunia 0,702.
Sedangkan di Asia Timur dan Pasifik, terdapat enam negara dengan kategori pembangunan manusia tinggi, 11 dalam kondisi moderat dan tiga lainnya berada di posisi rendah. Nilai IPM rata-rata untuk wilayah ini 0,703, sedikit di atas rata-rata dunia 0,702.
Oleh karena itu, UNDP mendesak pemerintah negara-negara tersebut untuk membuat kebijakan reformasi pendidikan dan mempercepat pertumbuhan perekonomian guna lapangan kerja yang layak.
Pemerintah juga diminta untuk menjaga persoalan kerawanan pangan, kekerasan terhadap perempuan, konflik dan bencana risiko sipil macam tanah longsor dan kenaik an permukaan air laut terkait dengan perubahan iklim.
“Dengan mengatasi kerentanan tersebut, semua orang akan berbagi dalam kemajuan pembangunan dan pengembangan manusia akan menjadi adil dan berkelanjutan,” kata Administratur UNDP, Helen Clark dalam keterangannya.
Di sisi lain, UNDP menyatakan Indeks Kemiskinan Multidimensional memaparkan hampir 1,5 miliar orang dalam 91 negara berkembang, hidup dalam kemiskinan.
Pelbagai masalah yang menjerat mereka adalah soal kesehatan, pendidikan dan standar hidup. Meskipun kemiskinan menurun secara keseluruhan, hampir 800 juta orang berisiko jatuh kembali ke dalam kemiskinan jika kemunduran terjadi.
UNDP memaparkan krisis bahkan menyebar lebih cepat dan lebih jauh, sehingga penting untuk memahami kerentanan. Sejumlah krisis yang musti diwaspadai di antaranya adalah krisis keuangan, fluktuasi harga pangan, bencana alam dan konflik kekerasan, akan secara signifikan menghambat kemajuan.
Mengurangi kemiskinan dan kerentanan masyarakat untuk jatuh kembali dalam kemiskinan, harus menjadi tujuan sentral pasca 2015,” demikian badan PBB tersebut.
“Pengurangan kemiskinan ekstrem tak hanya menjadikannnya nol, tapi juga soal tinggal di sana.”
DAMPAK JANGKA PANJANG
Terkait dengan hal tersebut, sosiolog Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar mengatakan pemerintah baru harus memiliki skala prioritas tentang kelompok mana saja yang seharusnya diberikan bantuan sosial. Dia menuturkan jangan sampai ada salah sasaran dalam penentuan tersebut karena akan berdampak panjang.
“Pemerintah harus bisa menggambarkan dengan jelas dalam APBN dan APBD halhal apa saja yang sebaiknya harus disubsidi. Karena subsidi bukan hanya milik bahan bakar minyak, melainkan ada pendidikan dan kesehatan,” katanya.
Yesmil juga menjelaskan pentingnya penegakan hukum yang tinggi dan perlindungan hak asasi manusia yang harus sangat diperhatikan.
Dia mencontohan pemerintah telah memiliki program jaminan sosial yang dilakukan BPJS, harus didukung oleh penegakan hukum. Hal itu, sambungnya, terkait dengan adany dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan program tersebut Peneliti Kebijakan Ekonomi dari Yayasan Prakarsa, Wiko Saputra, mengatakan kelompok kemiskinan terbesar berada dalam sektor pertanian.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi di Indonesia relatif kurang menyerap tenaga kerja di sektor pertanian. Padahal pertumbuhan ekonomi naik hingga 6,5%, dan setiap 1%nya hingga saat ini menyerap 168 ribu tenaga kerja. Sedangkan jika sektor pertanian dibenahi, paparnya, setiap 1% pertumbuhan mampu menyerap hingga 460 ribu tenaga kerja.
“Sehingga membuat tingkat kemiskinan dan pengangguran dapat dikurangi angkanya dari sektor pertanian,” kata Wiko.
“Pemerintah bisa membenahi pertanian dimulai dengan tata kelolanya agar lebih baik. Pembagian keuntungan dan risiko dalam rantai distribusi perdagangan juga banyak ditemukan ketidakadilan.”
Dia menuturkan setelah sektor pertanian dibenahi, perbaikan jangka panjang dilakukan dalam ranah pendidikan. Jika seorang anak menerima pendidikan yang baik, kata Wiko, maka 10- 15 tahun kemudian dia bisa terlepas dari kemiskinan.