Bisnis.com, BANGKOK—Para pengguna internet di Thailand melaporkan sempat terputusnya akses ke Facebook, sehingga menimbulkan kekhawatiran telah diblokirnya situs media sosial itu oleh pihak militer.
Seperti dilansir Bloomberg, Rabu (25/5/2014), akses ke Facebook dari komputer dan telepon selular putus selama 45 menit. Hilangnya koneksi terjadi bersamaan dengan junta militer yang membebaskan sejumlah pemimpin Kaus Merah yang menentang kudeta.
Terhadap kejadian ini, Sekretaris Menteri Informasi dan Komunikasi Thailand Surachai Srisaracam membantah situs tersebut diblokir dan menuturkan putusnya sambungan disebabkan oleh masalah teknis.
Namun demikian, media Spring News sebelumnya mengutip pernyataan Surachai yang mengatakan situs itu diblokir atas perintah junta.
Surachai menyebutkan kementerian hanya memblokir laman-laman situs yang bermasalah dan pernyataan Facebook akan ditutup hanyalah salah paham. Head of Communication Facebook Asia Pacific Charlene Chian menyatakan pihaknya tengah menyelidiki hal ini.
Militer mengancam menuntut orang-orang yang menyebarluaskan opini yang memprovokasi dan menutup media sosial yang tidak menyensor konten provokatif.
Para pemimpin Kaus Merah termasuk kelompok yang mesti melapor ke junta sejak kudeta pada Kamis (22/5). Selain mereka, ratusan politis, aktivis, dan akademisi juga harus melakukan hal yang sama.
Juru bicara junta Winthai Suvaree mengungkapkan pihaknya memanggil 253 orang. Sebanyak 200 orang telah melapor, dan 124 di antaranya dilepaskan.
Kemarin, tentara menahan Chaturon Chaisang yang merupakan menteri pendidikan di kabinet Yingluck Shinawatra. Dia ditangkap ketika sedang menjawab pertanyaan di Foreign Correspondents Club of Thailand.
Media sosial menjadi saluran pelampiasan bagi aktivis di negara-negara yang sedang mengalami pergolakan. Facebook, Twitter, dan YouTube sempat diblokir oleh negara-negara Arab ketika terjadi demonstrasi besar-besaran pada 2011. Turki juga mengancam melakukan langkah serupa setelah perdana menterinya menilai ketiga media sosial tersebut digunakan untuk mengancam pemerintahannya.