Bisnis.com, JAKARTA- Koalisi Pemilih Kritis (KPK) Yogyakarta memberikan catatan kritis terhadap 16 tahun perjalanan reformasi di Indonesia agar perjalanan kebangsaan Indonesia tidak kembali ke rezim otoriter dan korup Soeharto.
KPK merupakan koalisi berbagai lembaga pro demokrasi seperti LBH Yogyakarta serta Yayasan LKiS, dan dideklarasikan di Yogyakarta, 18 Maret 2014 sebagai inisiatif masyarakat sipil secara independen dan bagian dari aksi publik untuk perwujudan demokrasi substantif, bukan sekedar prosedural.
Dalam rilis yang diterima Bisnis.com, Rabu (21/5/2014), KPK memberikan penilaian terhadap enam aspek yang muncul pascareformasi 1998 yang meliputi penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, adili Soeharto dan kroni-kroninya, amandemen konstitusi, pencabutan dwifungsi ABRI serta otonomi daerah.
Berikut dilansir tiga poin dari enam sorotan yang dirilis KPK. Pertama, Penegakan Supremasi Hukum di mana telah hadir lembaga-lembaga pengawas penegakan hukum antara lain Komisi Yudisial, Ombudsman RI (pengawasan pelayanan publik) Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan.
Untuk KY dan Ombudsman RI relatif lebih optimal fungsi dan kewenangannya dibandingan Kompolnas dan Komisi Kejaksaan. Sisi lain, ancaman dan bahaya mafia peradilan masih terus mengintai dan menyelusup di berbagai institusi penegakan hukum.
Masih terkait supremasi hukum, agal dalam penuntasan kasus kekerasan utamanya yang melibatkan elemen penguasa dan ormas intoleran yang pro kekerasan.
Data dari Masyarakat Anti Kekerasan Yogyakarta (Makaryo) mencatat di DIY saja mulai tahun 1996 sampai sekarang setidaknya ada 20 kasus kekerasan yang macet proses hukumnya antara lain kasus pembunuhan wartawan Bernas Udin Agustus 1996 hingga ancaman pembunuhan terhadap Ketua Forum Lintas Iman Gunung Kidul awal Mei 2014.
"Catatan kritis lain adalah kasus kekerasan seksual saat situasi jelang reformasi 98 yang tidak tuntas proses hukumnya berdampak sampai hari ini makin meluas kassus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak”.
Kedua, Pemberantasan KKN yang melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Institusi ini mesti dijaga agar tetap dan terus melakukan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Publik mesti mencatat ada upaya serius pihak-pihak anti pemberantasan korupsi yang mencoba mengkriminalisasikan bahan menyerukan pembubaran KPK .
Catatan kritis lain, masih kurang upaya negara dalam pemberantasan kolusi dan nepotisme. Fakta adanya politik dinasti di beberapa daerah di republik ini yang berkelindan dengan kasus korupsi.
Ketiga, terkait Otonomi Daerah telah membuat daerah utamanya kabupaten / kota lebih punya kewenangan optimal dalam mengatur pemerintahan dan daerahnya sendiri.
Catatan kritis adalah sinergisitas dengan pemda kabupaten/kota lain dalam 1 provinsi, juga ketaatan membuat aturan yang senafas dengan konstitusi dan perundang-undangan bukan aturan daerah yang inkonstitusional.