JAKARTA – Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) menyatakan prihatin dengan maraknya peredaran dan kepemilikan produk palsu yang dikenal dengan sebutan KW.
Menurut Ketua MIAP Widyaretna Buenastuti, dalam siaran pers yang diterima Bisnis Senin (28/4), produk palsu merupakan pengecoh yang merugikan konsumen, karena memiliki kualitas sub-standar dan tidak lahir melalui perjalanan riset dan inovasi yang prosesnya bisa tahunan seperti dilakukan oleh produsen merek asli.
Di samping itu, pemalsuan terhadap nomor registrasi atau sertifikasi yang tercantum pada beberapa produk palsu merupakan tindakan pengelabuan terhadap konsumen.
Salah satu kerugian konsumen ketika membeli produk palsu adalah tidak mendapatkan servis purnajual, karena barang tersebut tidak diproduksi oleh produsen produk asli.
“Produk-produk yang secara resmi telah terdaftar dengan hak merek maupun hak cipta tentunya telah melewati proses riset dan inovasi sehingga menjadi produk yang layak untuk digunakan maupun dikonsumsi oleh masyarakat,” kata Widyaretna.
Keaslian dan kualitas produk sangat dijaga oleh produsen produk tersebut sebagai bentuk tanggung jawab kepada konsumen, dilengkapi dengan layanan purnajual yang tidak dimiliki produk palsu.
“Produk KW telah mengambil hak dari produk asli yang telah beredar sebelumnya, untuk kemudian dijual dengan harga yang lebih murah dengan materi ‘serupa tapi tak sama’,” katanya menambahkan.
Dia menegaskan, produk KW sama sekali bukan merupakan hasil inovasi baru, justru menjerumuskan konsumen karena kualitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
“MIAP prihatin apabila ada konsumen yang bangga membeli atau menggunakan barang KW. Inovasi produk adalah menciptakan karya baru dan mengusung merek (brand) sendiri, bukan mendompleng merek terkenal. Ini yang patut dihargai dan dibanggakan, bukan kebiasaan membeli dan menggunakan produk KW,” ujar Widyaretna.
Menurut peneliti dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Eugenia Mardanugraha, sebuah survei yang tengah berjalan baru menyelesaikan tahapan persepsi masyarakat dan pelaku usaha perantara mengenai barang palsu pada enam sektor industri, yaitu perangkat lunak komputer (software), kosmetika, farmasi, pakaian, barang kulit, serta makanan-minuman.