Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Setelah Pimpin The Fed, Apa Yang Akan Dilakukan Janet Yellen?

Bank sentral yang dipimpin Janet Yellen memiliki mandat untuk mengendalikan inflasi dan menjaga tingkat pengangguran yang rendah.
Janet Yellen/Bloomberg
Janet Yellen/Bloomberg

JANET Louise Yellen resmi menjabat sebagai ketua bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve/The Fed, menggantikan Ben Bernanke pada  1 Februari 2014. Isteri dari George Akerlof, seorang pemenang hadiah nobel ekonomi itu, menjadi ketua bank sentral AS yang ke-15  dan sekaligus wanita  pertama yang memimpin The Fed.

Yellen bukan orang baru di The Fed. Dia pernah menjabat sebagai ekonomi dan sebagai pimpinan The Fed di San Fransisco.  Bahkan sejak  2010, Janet Yellen menjabat sebagai wakil Ketua The Fed.  Selain di bank sentral, dia memiliki catatan cemerlang di dunia akademis sebagai pengajar di  universitas ternama seperti  Harvard dan University of California.

Bank sentral yang dipimpinnya memiliki mandat untuk mengendalikan inflasi dan menjaga tingkat pengangguran  yang rendah. Saat ini, inflasi AS berada pada level yang cukup rendah 1,5% dengan tingkat pengangguran yang menurun, meskipun masih cukup tinggi dikisaran 7%, masih di atas 5,2%-5,8% yang dianggap sebagai level full employment.

Selain itu, The Fed juga menghadapi tantangan terkait kebijakan quantitative easing (QE), suatu kebijakan moneter unconventional akibat suku bunga sudah mendekati nol.

(Penulis adalah alumnus Columbia University, bekerja di bank sentral)

Yellen dalam wawancaranya dengan majalah Time mengindikasikan padangannya bahwa masalah inflasi tidaklah lebih penting dari persoalan ketenagakerjaan (pengangguran).

 

Kebijakan moneter AS tidak hanya bepengaruh terhadap ekonomi domestik, tapi juga terhadap ekonomi global.  Ekonomi AS masih terbesar di dunia dengan PDB US$16 triliun, dua kali lipat dari posisi kedua yang dipegang China   US$8 triliun. 

Selain itu, posisi dolar AS sebagai mata uang global dan menjadi cadangan devisa berbagai negara, membuat  kebijakan moneter AS memainkan peranan yang strategis terhadap stabilitas perekonomian global. Peran itu bertambah penting dengan kebijakan QE yang berdampak terhadap aliran modal di berbagai negara.

YELLEN VS SUMMERS

Yellen melalui proses dramatis sebelum menjadi ketua The Fed. Pada awalanya, Presiden Barack Obama berencana mengajukan 2 nama, yaitu Lawrence Summers dan Janet Yellen. Summers  menjadi lawan yang tangguh dengan segudang jabatan strategis yang pernah didudukinya seperti menkeu di era Presiden Clinton dan sebagai penasehat ekonomi Presiden Obama. Selain itu, Profesor Harvard itu juga pernah menjabat sebagai ekonom kepala Bank Dunia.

Namun, rencana pencalonan Summers mendapat tentangan yang cukup luas. Joseph Stiglitz, yang pernah menjadi dosen bagi keduanya, menulis artikel di The New York Times yang  menyatakan dukungannya terhadap Yellen dan menentang pencalonan Summers. 

Summers dituding bertanggunjawab atas krisis keuangan yang melanda AS terkait perannya sebagai Menkeu ketika meloloskan UU yang melonggarkan transaksi derivatif. Akhirnya, Summerspun mundur dari rencana pencalonannya.

Sementara itu, meskipun sempat diragukan pemahamannya terhadap pasar keuangan, Yellen mendapat dukungan dari 500 ekonom top AS, termasuk pemenang nobel.  Mereka mengirim surat kepada Presiden Obama untuk mendukung  pencalonan Yellen sebagai Ketua The Fed.

Suatu pelajaran menarik dalam proses pemilihan pejabat public yang melibatkan partisipasi kaum intelektual dalam menilai track record dan kemampuan calon. Secara umum,  central bankers dianggap sebagai orang yang konservatif dan berhati-hati. Hal itu membuat Jean-Pierre Roth, Gubernur Bank Sentral Swiss, menggambarkan  central bankers sebagai  orang yang membosankan. 

Namun dalam sejarahnya, para gubernur bank sentral memiliki karakter yang beragam. Che Guevara, seorang dokter dan pejuang revolusioner, pernah menjadi pemimpin bank sentral Kuba.   Central bankers harus memiliki pemahaman yang baik dalam  3 aspek, yaitu ekonomi, perbankan dan layanan publik (John Singleton, 2011). Hal itu  sesuai dengan  evolusi tugas dari bank sentral.

Pada abad ke 18, central bankers adalah bankir berspesialisasi  khusus dengan nasabahnya adalah bank-bank dan pemerintah. Sementara fungsi layanan publik berkembang ketika kebijakan moneter dipandang sebagai bagian terintegrasi dari kebijakan ekonomi makro pemerintah.

Namun di akhir abad ke 20,  bank sentral cenderung menjadi independen dari pemerintah dan mulai banyak terlibat dalam riset-riset ekonomi.

Selanjutnya, peran ekonomi dalam bank sentral semakin dominan. Jumlah  gubernur bank sentral dengan latar belakang akademik semakin meningkat.

Pada awal abad ini,  6 dari 10 gubernur bank sentral 10 negara besar (G10) berasal dari kalangan akademik,  bandingkan dengan era 1990-an  yang  hanya 1 dari 10 yang berlatar belakang akademik. Karakter dari seorang pemimpin memiliki peran penting dalam membentuk kebijakan lembaga. Meskipun pengambilan kebijakan moneter dibuat mengikuti kaidah yang ilmiah (ruled based), namun tetap memberi ruang diskresi.

Bagaimanapun,  ilmu ekonomi bukanlah ilmu pasti. Meskipun keputusan penting diambil dalam mekanisme voting, pengaruh pemimpin akan kuat dalam mempengaruhi prosesnya. Hasil voting ini sering digunakan menilai sikap“garang” (hawkish) dan “jinak” (dovish) terhadap inflasi dari seorang central bankers.

Yellen dalam wawancaranya dengan majalah Time mengindikasikan padangannya bahwa masalah inflasi tidaklah lebih penting dari persoalan ketenagakerjaan (pengangguran).

Pandangan itu konsisten dengan keyakinannya bahwa bank sentral mampu berperan tidak hanya dalam mengendalikan inflasi, tetapi juga mendorong pertumbuhan demi meningkatnya penyerapan tenaga kerja.Yellen seorang dovish.

IMPLIKASI BAGI INDONESIA

Ketua The Fed kini berada dalam situasi yang belum pernah ada dalam sejarah ekonomi dunia. Tidak ada peta yang menuntun. Likuiditas berlimpah dan sebagian menumpuk dalam giro bank di bank sentral. Kebijakan tersebut membuat neraca the Fed membengkak hingga  US$4 triliun atau 4 kali lipat dari sebelum krisis keuangan global. Jumlah tersebut sekitar 25% dari PDB AS.

Likuiditas yang besar dalam perekonomian AS ini menjadi tantangan bagi kebijakan moneter ketika akan menaikan tingkat bunganya untuk mengendalikan inflasi. Suatu framework kebijakan baru diperlukan agar kebijakan moneter  dapat efektif di tengah banjir likuiditas yang dihadapi.

Sebagai mantan wakil ketua The Fed, kebijakan Janet Yellen tidak akan jauh berbeda dengan pendahulunya Ben Bernanke. Namun, sikapnya yang cenderung dovish diperkirakan akan mendorong fokus kebijakan The Fed pada upaya pengurangan pengangguran dibandingkan inflasi.

Artinya, kebijakan mendukung pertumbuhan ekonomi untuk menyerap tenaga kerja masih akan menjadi prioritas. Hal itu akan berdampak positif bagi perekonomian global, termasuk Indonesia. Permintaan dunia akan meningkat, termasuk terhadap ekspor Indonesia.

BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi dapat mencapai kisaran 5,8%-6,2% di 2014 dengan keseimbangan eksternal yang terjaga. Sementara itu, aliran modal baik dalam bentuk portofolio maupun FDI diperkirakan masih cukup kuat.

(Penulis adalah alumnus Columbia University, bekerja di bank sentral)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : SyachmanPerdymer
Editor : Yusran Yunus
Sumber : Bisnis Indonesia (13/2/2014)

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper