Bisnis.com, JAKARTA - Anggota Komisi III dari Fraksi PKS Fahri Hamzah menyatakan aksi protes sejumlah pihak terkait pembahasan revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap DPR dinilai salah alamat.
Menurutnya, pihak yang paling berwenang untuk menentukan apakah pembahasan revisi KUHAP diteruskan atau dihentikan adalah pemerintah, dalam hal ini adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Amir Syamsuddin.
"Jangan selalu nyalahin DPR terus, karena DPR membahas kan tergantung proposal dari pemerintah," kata Fahri kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (7/2/2014).
Dia juga menyarankan agar KPK sebaiknya berkonsultasi dan mengadakan dialog dengan pemerintah, jika ingin pembahasan revisi KUHAP dihentikan.
"KPK seharusnya melakukan dialog dengan pemerintah, dalam hal ini yang berwenang adalah Presiden SBY dan Menkum HAM Amir Syamsuddin," jelasnya.
Adapun, Anggota Komisi III DPR dari fraksi PDIP, Eva K. Sundari mengatakan sulit kemungkinannya untuk menghentikan pembahasan revisi Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dilakukan DPR dengan pemerintah.
Hal itu disebabkan karena revisi KUHAP telah masuk di program legislasi nasional (prolegnas) dan ditargetkan selesai sebelum berakhirnya periode DPR yaitu pada September 2014.
Menanggapi aksi penolakan terhadap pembahasan revisi KUHAP, Eva mengungkapkan bahwa DPR selalu menjadi sasaran empuk bagi sejumlah pihak untuk melayangkan protesnya.
"Ada sejumlah kekeliruan publik yang melayangkan protes ke DPR. Padahal pembahasan revisi KUHAP ini dilakukan berdasarkan usulan pemerintah. Sekarang tergantung kepada pemerintah mau mencabut atau meneruskan," ucapnya.
Eva menyebutkan dalam revisi KUHAP sebenarny tidak ada upaya untuk melemahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjalankan tugasnya, tapi sebaliknya, KUHAP diharapkan mampu mengatur lebih baik tentang wewenang lembaga hukum seperti KPK, Kejaksaan, dan Polri dalam menjalan tugas-tugasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengimbau Komisi III DPR untuk tetap mendengarkan usulan dan masukan dari KPK.
"Wajib hukumnya bagi komisi III untuk mendengarkan usulan KPK. LSM saja wajib didengar, apalagi KPK, tetapi biarkan berproses dulu pembahasan ini," kata Priyo.
Meskipun demikian, Priyo beranggapan sebaiknya pembahasan RUU KUHAP tetap dilanjutkan dan bagi pihak-pihak yang berkeberatan dapat bersama-sama terlibat dalam mengawasi proses pembahasan RUU KUHAP.
"Di satu sisi DPR selalu diminta cepat menyelesaikan undang-undang, di sisi lain baru akan membahas, malah disuruh menghentikan. Yang jelas Komisi III harus tetap mendengarkan 12 pasal yang dianggap melemahkan KPK," ujarnya.
Seperti diketahui, pembahasan RUU KUHAP oleh DPR dan Pemerintah ini terus menjadi polemik. Pasalnya, Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan bebrapa LSM meminta Komisi III DPR untuk menghentikan RUU KUHAP. Sekarang giliran Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mendesak DPR untuk mengkaji ulang pembahasan RUU KUHAP.
Dalam revisi KUHAP, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai ada 12 pasal yang berpotensi dapat melemahkan KPK, antar lain adalah soal dihapuskannya ketentuan penyelidikan. Hal itu menyebabkan kewenangan KPK untuk memerintahkan pencekalan, penyadapan, pemblokiran bank dan Operasi Tangkap Tangan (OTT) juga akan hilang.
Selain itu, terkait penyadapan, KPK harus mendapatkan izin hakim terlebih dahulu sebelum melakukan penyadapan. Penyadapan hanya dapat dilakukan apabila telah mendapat persetujuan dari hakim. Jika hakim tidak setuju, maka KPK tidak bisa melakukan penyadapan.
Ini Pandangan Soal Polemik Revisi KUHAP
Anggota Komisi III dari Fraksi PKS Fahri Hamzah menyatakan aksi protes sejumlah pihak terkait pembahasan revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap DPR dinilai salah alamat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Fitri Sartina Dewi
Editor : Sepudin Zuhri
Konten Premium