Bisnis.com, JAKARTA - Berikut ini kisah sulitnya mengurus akta kelaheran di daerah pelosok.
“Ibu Menteri yang baik. Saya punya teman di kampung. Dia sudah tiga kali urus surat keterangan akta kelahiran ke kantor dekat desa. Tapi belum selesai-selesai juga. Akhirnya dia tidak jadi bikin,” kata seorang anak asal NTT kepada Linda Amalia Sari Gumelar.
“Saya mau bantu dia, tapi tak tahu bagaimana caranya,” lanjut anak perempuan tersebut dalam sebuah dialog dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak itu, Kamis (19/12/2013).
Anak-anak binaan Plan Indonesia yang berasal dari Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan Nusa Tenggaara Timur tersebut, berdialog dan bertatap muka dengan Menteri PP&PA tersebut di sela-sela acara diskusi publik Refleksi Pencatatan Kelahiran di Indonesia, di Hotel Grand Sahid Jakarta.
Menteri Linda pun menjawab bahwa mungkin perangkat di desa tersebut belum siap untuk mengerjakan administrasi akte kelahiran. “Sabar saja. Pastinya nanti bisa. Sebab, pembuatan akta kelahiran itu adalah hak anak, dan harus ada,” ujarnya.
Menurut Linda, sebenarnya sudah tidak ada masalah lagi dengan pengurusan pencatatan kelahiran ini. Sudah ada kerja sama dengan pemerintah daerah untuk mempermudah pembuatan akta kelahiran.
“Kepemilikan akta kelahiran anak di Indonesia sampai 100%, adalah sebuah keharusan. Berbagai upaya dilakukan untuk mencapainya,” ungkap Linda seusai dialog.
Dia menuturkan data Badan Pusat Statistis 2011 mencatat secara nasional anak usia 0 -18 tahun, yang telah memiliki akta kelahiran mencapai sekitar 64% atau 82.980.000 orang. Hal itu berarti masih terdapat 36% anak yang belum terlindungi identitasnya.
“Hak untuk mendapatkan identitas merupakan hak dasar yang melekat pada setiap anak, dan wajib diberikan oleh negara. Maka sudah sepantasnyalah seorang anak mendapatkan akta kelahiran gratis semenjak dia dilahirkan. Sebab, hal tersebut membuktikan secara hukum keberadaan seorang warga negara,” ungkap Linda.
Untuk itu, lanjutnya, Kementerian PP&PA, bekerjasama dengan Plan Indonesia melaksanakan Refleksi Kepemilikan Akta Kelahiran Anak Indonesia.
Kegiatan yang dihadiri oleh 200 peserta dari berbagai kalangan ini, memiliki tujuan untuk menginformasikan seluruh kebijakan pemerintah, menghimpun ragam kendala di lapangan, serta merumuskan saran dan masukan, untuk menyusun kebijakan lebih lanjut terkait percepatan kepemilikan akta kelahiran.
Lima Kluster Hak Anak pun menjadi acuan dalam mewujudkan tujuan tersebut. Diantaranya adalah Kluster Hak Sipil dan Kebebasan, Kluster Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, Kluster Disabilitas, Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan, Kluster Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Budaya, serta Kluster Perlindungan Khusus.
“Refleksi Kepemilikan Akta Kelahiran Anak Indonesia ini memperlihatkan pada kita bahwa memang masih ada kekurangan di sana-sini. Tapi hal itu tidak menjadikan kita untuk menyerah. Sama sekali tidak boleh.
Anak menggantungkan hidup mereka kepada kita sebagai orang dewasa, lebih-lebih bagi para penyelenggara pemerintahan. Itulah mengapa KPP-PA tidak pernah mengibarkan kain putih tanda menyerah,” ungkapnya.
Menurut dia, anak memandang orang dewasa dengan penuh harap, dunia pun terus memantau perkembangan ini. “Tidak boleh ada kata menyerah untuk memastikan hak sipil anak itu dipenuhi dan dilindungi,” tutur Linda.