Bisnis.com, JAKARTA—Fokus masyarakat mengenai Masyarakat Ekonomi Asean 2015 perlu diubah bukan sekadar mencari tahu hambatan, tetapi pada upaya untuk memaksimalkan peluang.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan MEA 2015 bukan merupakan kondisi yang akan terjadi secara tiba-tiba. Saat ini, implementasinya sudah berjalan meskipun belum menyeluruh. Dalam beberapa kajian maupun riset internasional, perdagangan bebas Asean sudah mencapai 80%.
Dia menilai penguatan daya saing untuk memaksimalkan peluang lebih esensial karena MEA 2015 mau tidak mau harus dihadapi. Terlebih, dari sisi produk, Indonesia lebih unggul dibandingkan dengan negara Asean yang lain.
Ada beberapa hal yang bisa dijadikan peluang, misalnya 350 juta penduduk negara Asean di luar Indonesia bisa menjadi pasar yang besar.
"Jika untuk menembus pasar Singapura dan Malaysia masih sulit, masih ada Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam,” kata Bayu dalam Seminar Asean Bertahan dan Menang dalam Menyongsong MEA 2015 yang diadakan oleh Bisnis, Rabu (11/12/2013).
Bayu menuturkan pelaku usaha tidak perlu khawatir jika Indonesia menjadi sasaran ekspor negara lain. Industri Tanah Air sudah lebih dahulu maju dan mampu bersaing dibandingkan dengan negara Asean lain.
Dia mencontohkan PT Indomobil Sukses Internasional Tbk yang telah mengembangkan sektor otomotif sejak 1976 dan menjadi andalan ekspor nasional. Selain itu, masih banyak produk ekspor seperti alas kaki, alat elektronik, dan produk digital yang unggul.
Daerah utama seperti Jakarta, lanjutnya, sudah siap dengan MEA 2015. Namun, ada beberapa daerah lain yang masih belum setara. Pihaknya akan mempersiapkan beberapa tindakan untuk menambah perlindungan.
Menurutnya, tantangan terbesar masih terletak pada sektor jasa yang terbagi atas pendukung produk dan pengiriman. Untuk hambatan yang pertama, pengusaha Indonesia terutama sektor kecil dan menengah harus membayar biaya lebih tinggi 10% dibandingkan dengan negara Asean lain.
Biaya tersebut dipengaruhi oleh pengurusan bermacam sertifikasi dan labelisasi. Salah satu pendukung yang belum dimaksimalkan adalah Surat Keterangan Asal (SKA). Dokumen pendukung ekspor tersebut bisa memberikan manfaat berupa preferensial tarif sehingga lebih mudah diterima pasar tujuan.
“Terlebih sekarang sudah ada self sertification [sertifikasi mandiri], jadi bisa membuat SKA sendiri tanpa harus datang ke instansi manapun. Kami juga menyediakan National Single Window [NSW], jadi pengurusan izin ekspor bisa dilakukan di manapun secara online,” ujarnya.
Adapun hambatan jasa yang kedua yakni pengiriman produk nasional yang sebagian besar atau 95% masih menggunakan jasa pengapalan asing. Masalah struktural tersebut harus bisa diatasi sebelum 2015.
Dia memprediksi komponen daya saing di masa mendatang untuk produk hanya 30%, sedangkan 70% merupakan komponen jasa. Perusahaan yang bisa memberikan layanan terbaik mampu memenangkan persaingan di Asean.