Bisnis.com, PADANG— Senyum sumringah tampak dari wajah Walikota Padang Fauzi Bahar, saat memimpin clean and clear dan pembongkaran bangunan liar di Koto Panjang, Ikur Koto, Padang.
Di hadapan wartawan yang meliput pembongkaran massal itu, Fauzi sendiri yang memulai memotong pohong Nangka di pinggir jalan dengan mesin gregaji sinso.
“Jalan ini sudah segera dibangun dua jalur, karena sudah jatuh tempo maka pembongkaran ini kita laksanakan, masyarakat harus mendukung itu,” katanya, Rabu (6/2/2013).
Dia sendiri yang mendatangi masyarakat yang berkeras tidak bersedia bangunannya di bongkar. Dengan penuh wibawa, Fauzi menjelaskan kepada masyarakat, bahwa jalur dua By Pass yang jauh-jauh hari sudah direncanakan akan segera dibangun dan masyarakat akan merasakan dampaknya secara ekonomi. Fauzi berhasil meredam amarah warga.
Rencananya, jalur dua By Pass akan dibangun sepanjang 27 km dari pelabuhan Teluk Bayur ke By Pass batas kota Padang, hingga jalan layang Duku di Padang Pariaman. Pembangunan itu setidaknya menghabiskan anggaran sekitar Rp550 miliar lewat pinjaman dari Korea Selatan.
Namun, dalam perjalannya pelebaran jalan By Pass menjadi dua lajur yang ditargetkan dimulai pertengahan 2013 lalu tak kunjung berjalan. Lahan yang dibebaskan melalui konsolidasi masih menemui masalah di sejumlah titik, hingga sampai menjelang akhir tahun ini tak jelas juga arah penyelesaiannya.
“Pembebasan jalur dua By Pass yang tersisa masih terus dilakukan, pemerintah kota sudah siapkan ganti rugi tanah,” katanya.
Rekomendasi BPN
Kepala Biro Pemerintahan dan Kependudukan Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Barat, Syafrizal Ucok sempat kesal dengan rekomendasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyangkut pembebasan jalur dua By Pass.
Syafrizal yang ditunjuk sebagai Ketua Tim Asistensi Pembebasan jalur dua By Pass, setelah Pemko Padang menyerahkan persoalan kepada Pemprov Sumbar Agustus lalu, kesal karena keputusan yang diberikan BPN hanya berupa rekomendasi opsi penyelesaian.
“Karena sudah mentok konsolidasinya, makanya saya minta ada penjelasan lebih lanjut. Sampai saat ini kami belum terima secara resmi tiga rekomenasi BPN itu,” katanya, Kamis (26/9/2013).
Dia kecewa karena rekomendasi BPN tidak sesuai harapannya. Sebenarnya di tengah proses penyelesaian By Pass yang menuntut kesigapan daerah karena anggarannya sudah tersedia, BPN mesti memberikan rekomendasi yang langsung bisa ditindak lanjuti, bukan sekedar opsi yang bisa dijalankan daerah dan BPN lepas tanggung jawab jika dikemudian hari tersangkut persoalan hukum.
Akhirnya, BPN mengeluarkan tiga rekomendasi tertulis menyangkut penyelesaan jalur dua By Pass melalui surat arahan dengan nomor 3265/15.1-300/VIII/2013 tertanggal 20 Agustus 2013.
Yakni, pertama lokasinya harus bebas dari kegiatan konsolidasi, kedua pemilik tanah tidak terkait dengan kegiatan konsolidasi tanah, dan terakhir bila keduanya sudah terpenuhi maka UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum bisa dilaksanakan.
Rekomendasi itu, kata Syafrizal, hanya diperuntukkan bagi 61 persil atau 83 bangunan yang masih tersisa di sepanjang By Pass. “Rekomendasi itu dibutuhkan agar Pemprov dan Pemko punya payung hukum untuk penyelesaian jalur dua By Pass,” ujarnya.
Rugi dua kali
Meski sudah ada rekomendasi BPN, pembebasan 61 persil lahan di By Pass tak kunjung kelar. Pemkot Padang berdalih masih melakukan proses untuk ganti rugi, sementara bantuan Rp550 miliar dari Korea Selatan untuk pembangunan jalur dua tersebut sudah setahun lebih mengendap.
Suprapto, Kepala Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Pemukiman (Prasjal Tarkim) Sumbar geleng-geleng kepala jika ditanya pembangunan By Pass. Dia kesal pihak Korea Selatan sebagai pemberi pinjaman tak kunjung menunjuk pemenang tender untuk pengerjaan jalan itu. Padahal, April lalu ditargetkan pemenang tender sudah ditentukan.
“Itu lah kalau membangun dengan dana dari orang luar, kita ga bisa ngapa-ngapain. Diatur orang,” ujarnya.
Suprapto juga menyayangkan lambatnya proses penyelesaian By Pass, sehingga donatur mengulur waktu dengan alasan lahan yang belum tuntas.
“Kita sudah rugi, karena bunganya sudah harus dibayarkan sejak kesepakatan ditandatangani,” sebutnya.
Dia mengatakan dalam masterplan pembangunan By Pass dibutuhkan anggaran sekitar Rp800 miliar. Yakni pinjaman dari Korea Selatan sebesar Rp550 miliar untuk pembangunan jalur dua. Dan sisanya membangun fly over yang melewati jalur dua tersebut di empat titik. Anggaran untuk pembangunan fly over itu diambil dari APBN.
“By Pass ini pelajaran buat kita, banyak ruginya. Lain kali kalau membangun itu ya dengan uang sendiri lah,” ujarnya.
Suprapto tidak tahu pasti berapa besarnya bunga yang harus dibayarkan pemerintah dari pinjaman untuk pembangunan tersebut. Yang pasti, karena pembangunan tidak berjalan, sementara uang sudah diberikan, maka bunga harus dibayarkan.
Sejatinya, rencana pembanguna jalur dua By Pass tidak menyimpan banyak persoalan. Ketika pertama kali dicetuskan pada 1991 oleh Walikota Syahrul Ujud, masyarakat sekitar dengan senang hati menyambut rencana pembangunan itu.
Sudah pasti pelebaran jalur dua By Pass akan berdampak secara ekonomi bagi masyarakat setempat. Jalur yang menghubungkan Pelabuhan Teluk Bayur dan Bandara Internasional Minangkabau (BIM) itu diprediksi akan ramai, secara tidak langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Makanya tidak heran ketika rencana konsolidasi diapungkan, masyarakat tidak ada yang menolak. Namun lambatnya proses pembangunan dan suksesi di pemeritahan kota Padang pada 1993 membuat rencana tersebut tidak berlanjut.
Pengamat Hukum Agraria dari Universitas Andalas (Unand) Kurnia Warman mempekirakan ketika suksesi kepemimpinan dari Syahrul Ujud ke Zuiyen Rais tidak dibarengi dengan penuntasan rencana kerja pemimpin terdahulu.
“By Pass ini seakan dilupakan karena pembangunan juga tak kunjung dikerjakan, Padahal konsolidasi sudah jalan. Bisa jadi pada masa ini ada oknum pejabat yang bermain mencaplok tanah konsolidasi dan menjualnya. Sekarang ribut-ribut mau pembangunan ya mana mau lagi masyarakat ikut konsolidasi,” katanya, Kamis (28/11/2013).
Dia menilai itu kelalaian Pemkot Padang memagari kawasan konsolidasi, sehingga konsolidasi tidak diterima penuh oleh masyarakat.
Padahal dalam konsepnya, Kurnia menyebutkan bahwa konsolidasi menguntungkan bagi masyarakat. Karena peserta konsolidasi menyumbang 30% dari tanahnya ke Negara dan dikembalikan 70% lengkap dengan sertifikatnya.
Konsep konsolidasi mengacu pada Peraturan Menteri Agraria No 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi. Pelaksanaannya tergantung kesepakatan peserta konsolidasi, tidak diatur dalam undang-undang khusus.
“Sekarang kan pengembalian hasil konsolidasi ke masyarakat ini yang tidak jelas. Artinya apa, ada penggelapan. Pemkot harus buka lagi peta konsolidasi dari awal jika ingin kasus ini dituntaskan,” katanya.
Untuk penyelesaian saat ini, Kurnia mengusulkan 61 persil tanah yang tersisa mau tidak mau harus dilakukan ganti rugi.
“Hak masyarakat tetaplah yang utama, lakukan ganti rugi agar pembangunan tidak terhambat. Ganti ruginya juga dengan harga sekarang, karena perputaran ekonomi di By Pass terus tumbuh. Pemkot tidak bisa gunakan harga seperti ketika awal konsolidasi,” katanya menjelaskan.
Namun, dia meminta Pemkot Padang menjamin sisa konsolidasi yang tidak tuntas dirunut kembali, karena pasti ada ‘oknum’ yang bermain. “Pastikan uang Negara tetap kembali dari oknum-oknum yang bermain di konsolidasi,” ujarnya.
Masyarakat sekitar pada dasarnya tidak menolak konsolidasi. Ninik Mamak Suku Tanjung Yarman Datuk Rajo Ibrahim misalnya, mengatakan masyarakat tidak pernah menghalangi pembangunan jalur dua tersebut. Namun, pemerintah harus terlebih dahulu menyelesaikan seluruh konsolidasi tanah warga.
“Tidak bisa dipungkiri, pembangunan jalan By Pass ini berdampak positif untuk masyarakat. Namun, pemerintah harus memberikan hak, dan menyelesaikan kewajibannya kepada masyarakat, yakni dengan menyelesaikan konsolidasi. Karena, tanah masyarakat memiliki sertifikat yang sah, dan bukan tanah negara,” ujarnya.
Langkah Penyelesaian
Asisten I Pemko Padang, Nasir Ahmad memperkirakan 61 persil atau 83 bangunan yang masih bermasalah tersebut memiliki luas 117.812 meter atau 11,7 hektare. Namun dia enggan membuka secara rinci detail konsolidasi yang tersisa itu. Dengan harga tanah saat ini yang mencapai Rp15 juta per m2, diperkirakan ganti rugi bisa lebih dari Rp100 miliar.
“Pemko sedang menyiapkan langkah-langkah konkrit untuk penyelesaian By Pass, jangan dulu diberitakan secara sepotong-sepotong. Nanti kalau sudah klop pembahasannya, pemkot akan gelar jumpa pers,” katanya.
Begitu juga dengan Kepala Bagian Pertanahan Pemkot Padang, Desmon Danus menolak diwawancarai dengan alasan penyelesaian jalur dua By Pass sudah diserahkan ke pemprov. Terkait peta konsolidasi ia mengaku tidak tahu.
Sementara itu Walikota Fauzi Bahar mengatakan anggaran untuk ganti rugi sudah disediakan Pemko Padang, dan besarannya masih akan dibahas di rapat Forum Pimpinan Kepala Daerah (Forkopinda). “Pemko sudah sediakan aggaran untuk ganti rugi, yang jelas By Pass ini segera kita tuntaskan,” katanya.
Syafrizal menyebutkan keputusan akhir tentang konsolidasi By Pass tetaplah di Pemkot Padang. Pemprov Sumbar hanya berperan sebagai fasilitator untuk menyelesaikan sengkarut pembebasan itu. Ia pun berharap Negara tidak dirugikan dari pembangunan itu, dan hak masyarakat bisa didapat.