Bisnis.com, JAKARTA - Integrasi sektor jasa keuangan oleh sebagian kalangan dipandang sebagai tantangan paling sulit dalam persiapan menuju Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015.
Jasa keuangan di seluruh penjuru Asia Tenggara hingga saat ini dinilai masih terkekang regulasi yang sangat ekstensif. Bahkan, sebagian dari pelaku sektor finansial masih restriktif terhadap wacana regionalisasi.
“Dari berbagai sektor yang harus dibenahi menjelang MEA, integrasi jasa keuangan adalah yang tersulit. Ini adalah sektor yang paling rentan volatilitas,” ujar Nazir Razak, CEO CIMB Group di sela-sela peluncuran inisiatif Lifting the Barriers (LTB).
Untuk mengatasinya, The Boston Consulting Group (BCG) sangat merekomendasikan liberalisasi sektor keuangan di Asean. Mereka berpendapat keragaman pemain akan memberi variasi pandangan tentang fase dan keuntungan dari integrasi keuangan di era MEA.
Misalnya saja, para pelaku industri dan organisasi perdagangan percaya bahwa integrasi finansial dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi, menurunkan biaya regionalisasi, dan membantu usaha mikro kecil menengah (UMKM) menjadi lebih kompetitif.
“Bisnis Asean kian gencar beroperasi di China, India, dan Jepang. Oleh karena itu, integrasi jasa keuangan dan pasar modal akan membantu proses ekspansi dari bisnis Asean yang tengah bertumbuh,” jelas Munir Majid, penasehat inisiatif LTB untuk Asean Business Club.
Kendati demikian, para pembuat kebijakan dan pemerintah lokal masih khawatir integrasi itu dapat membuka peluang lebih lebar bagi volatilitas kawasan. Di samping itu, keuntungan material yang didapatkan belum tentu akan sebesar yang diharapkan.
“Kami mengidentifikasi hambatan [bagi integrasi jasa keuangan] yang sebenarnya bukan hal baru, seperti nasionalisme ekonomi, keterbatasan SDM, kemacetan regulasi, dan kekurangan infrastruktur,” imbuh Munir.
Tantangan dan Rekomendasi
Sementara itu, dari analisis BCG, terdapat 6 kendala utama untuk mengintegrasikan sektor keuangan Asean. Pertama, heterogenitas kerangka regulasi dan akses pasar yang sangat restriktif.
Regulasi yang tidak konsisten menghambat ekspansi perbankan intra-Asean. BCG mencontohkan rencana ekspansi PT Bank Mandiri Tbk di Malaysia yang terhambat oleh persyaratan modal senilai US$96 juta, atau 10 kali lipat lebih tinggi dari standar Indonesia.
Bank Indonesia menerbitkan peraturan yang mengharuskan bank-bank untuk membuka satu cabang di 5-6 lokasi untuk setiap 3 kantor cabang yang dibuka di 1 kota, dengan persyaratan modal yang ketat sehingga pembukaan cabang berpotensi tidak ekonomis.
BI juga mengharuskan bank asing untuk terinkorporasi secara lokal dan menerapkan pembatasan investasi asing langsung di bank-bank domestik menjadi maksimum 40%. BCG menilai kebijakan itu akan memangkas ketertarikan bank asing di Indonesia.
“Problema regulasi yang berbeda juga terjadi di anggota Asean yang lain. Di sebagian besar kasus, regulasi nasional membatasi institusi keuangan Asean [dan asing] untuk dapat bertumbuh dengan cepat,” papar BCG.
Kedua, keterbatasan mobilitas tenaga ahli (talent) sektor keuangan akibat perbedaan tingkat gaji, pengurusan visa, kualifikasi, dan sebagainya. Ketiga, keterbatasan aliran data lintas batas dan regulasi off-shoring.
Keempat, aliran perdagangan Pan Asia dan ekspansi yang terlalu fokus ke India dan China. Saat ini, basis perdagangan Asia memang terletak di China, Singapura, dan India.
“Operasi subskala di kawasan yang dibarengi dengan kuatnya pemain domestik di pasar-pasar dominan akan mempersulit bank-bank Asean untuk bertumbuh sebagai entitas Pan Asian Banks,” papar para analis BCG.
Pertumbuhan organik, lanjut mereka, adalah tantangan yang lebih besar karena ketiga pasar tersebut sangat kompetitif dengan jumlah pemain yang besar. Bank terbesar di Asean saja masih lebih kecil dibandingkan dengan bank terbesar ke-50 di China dalam hal kapasitas aset.
Selain itu, tantangan kelima dan keenam masing-masing adalah kurangnya infrastruktur yang terstandar untuk memfasilitasi utang lintas batas negara, dan kurangnya standarisasi lintas kawasan dalam hal proses operasional dan infrastruktur bersama.
Untuk mengatasi keenam tantangan itu, BCG menyarankan diloloskannya wacana sistem perbankan Pan Asia yang dapat menunjang kolaborasi dan pertukaran informasi, sehingga perusahaan-perusahaan Asean dapat melakukan ekspansi ke China dan India.
Rekomendasi lainnya mencakup kemudahan mobilitas talent, pembentukan model Aliansi Asean, membangun infrastruktur biro kredit bersama, membentuk lembaga pemeringkat utang bersama, membebaskan aliran data/off-shoring, serta menstandarisasi tata nama, dokumentasi, dan infrastruktur bersama.
“Asean punya pendekatan yang unik terhadap integrasi dan kolaborasi regional. Visi MEA berbeda dengan integrasi ala Uni Eropa. Asean punya peluang untuk membangun dan memerbaikiapa yang dibutuhkan kawasan, dengan bercermin dari pengalaman pada saat krisis finansial Asia 1997,” jelas BCG.
MEA 2015, Ini 6 Kendala Integrasi Jasa Keuangan
Integrasi sektor jasa keuangan oleh sebagian kalangan dipandang sebagai tantangan paling sulit dalam persiapan menuju Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Wike Dita Herlinda
Editor : Bambang Supriyanto
Topik
Konten Premium