BISNIS.COM, JAKARTA--Permasalahan ekstradisi Djoko Tjandra dari Papua Nugini pasca penandatanganan perjanjian ekstradisi pemerintah Indonesia-Papua Nugini akan ditangani tim khusus.
Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan proses ekstradisi buronan Indonesia dari Papua Nugini akan lebih mudah setelah penandatanganan perjanjian bilateral antara kedua negara.
"Kalau nanti diperlukan. Permintaan baik dari kita maupun dari sana itu lebih mudah," katanya di Istana Merdeka, Senin (17/6/2013).
Perjanjian tersebut, tegasnya, bertujuan untuk memudahkan semua proses ekstradisi dan tidak secara khusus dibuat terkait ekstradisi Djoko Tjandra.
Adapun proses penindaklanjutan ekstradisi Djoko Tjandra, menurut Basrief, akan ditangani oleh tim khusus. "Dengan adanya perjanjian itu lebih memudahkan kita melakukan ekstradisi, siapapun. Itu [kasus Djoko Tjandra], tim khusus nanti."
Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Papua Nugini ditandatangani hari ini di Istana Merdeka oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin dan Menteri Kehakiman/Jaksa Agung Papua Nugini Kerenge Kua.
Penandatanganan tersebut disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Papua Nugini Peter O'Neil.
Djoko Tjandra adalah terpidana kasus Bank Bali yang diketahui berada di Papua Nugini sejak 10 Juni 2009.
Pemerintah Papua Nugini diketahui telah memberikan hak kewarganegaraan pada Djoko sejak pertengahan 2012.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin membenarkan penandatangan MoU perjanjian ekstradisi antara kedua negara memberi lampu hijau ekstradisi buron Indonesia yang tinggal di Papua Nugini.
Namun, dia menolak menyebutkan secara spesifik siapa saja buronan Indonesia yang berada di Papua Nugini atau mengkonfirmasi rencana ekstradisi Djoko Tjandra yang diketahui tinggal di negara tersebut.
"Ini kan perjanjian ekstradisi, tidak menyebut siapa. Saya jangan menyebut nama orang," katanya.
Amir memperkirakan perjanjian ekstradisi antara kedua negara bisa berlaku efektif sebelum tahun ini berakhir. Setelah berlakunya perjanjian ekstradisi, jelasnya, Indonesia bisa mengeluarkan surat Mutual Legal Assistance (MLA) untuk meminta ekstradisi terpidana dari Papua Nugini.
"Terutama sekali [ada] itikad baik coda negara karena tanpa perjanjian kalau ada hubungan baik bilateral itu selalu bisa," kata Amir.
Menko Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto menambahkan perjanjian ekstradisi Indonesia-Papua Nugini tidak memiliki tujuan khusus untuk kasus tertentu.
"Jangan bicara per kasus, itu upaya untuk mengembalikan aset kita dan mengembalikan orang yang tersembunyi. Bisa siapa saja," katanya.