BISNIS.COM, JAKARTA -- Perekonomian dunia yang terintegrasi dan masalah-masalah berskala global seperti perubahan iklim, pandemik, terorisme, dan cyber crime menuntut tata kelola global yang bersifat kooperatif, atau yang disebut sebagai multilateralisme.
Namun, ternyata tidak mudah atau bahkan mustahil untuk menciptakan perjanjian-perjanjian multilateral: putaran Doha telah mati suri selama lebih dari 1 dekade, dan banyak perjanjian tentang iklim tampaknya sulit untuk menjadi kenyataan.
Prof. Stephen J. Kobrin dari The Wharton School of the University of Pennsylvania, dalam kuliah umum di FEB UGM, Kamis (16/5), mengungkapkan Indonesia adalah salah satu negara yang semakin signifikan daya ekonominya secara global, dan makin terintegrasi.
Namun, pada saat yang sama Indonesia berhadapan dengan tata dunia yang multipolar. Salah satu penyebab sulitnya membangun multilateralisme adalah meningkatnya fragmentasi dalam sistem politik internasional: mencuatnya tata dunia yang bersifat multipolar dimana kekuatan tersebar di banyak pusat; peningkatan dramatis dalam jumlah negara yang memiliki daya ekonomi yang signifikan; dan runtuhnya ideologi liberal pasca perang dunia kedua yang selama ini mendasari sistem internasional.
“Kebutuhannya mendesak tetapi tidak mudah menciptakannya,” tegasnya.
Sebagai akibatnya, kebutuhan terhadap multilateralisme menjadi semakin mendesak dan pada saat yang sama semakin sulit untuk dicapai.
Hal ini terlihat dari semakin banyaknya perjanjian bilateral yang terjadi antar negara, padahal perjanjian bilateral tidak menjamin keadilan atau fairness yang mungkin bisa lebih baik dicapai melalui perjanjian multilateral.
Bahkan, perjanjian bilateral berpotensi menimbulkan distorsi pada kepercayaan bersama (mutual trust) yang menjadi dasar mutlak dalam perjanjian multilateral.
“Tata kelola global yang efektif mensyaratkan adaptasi kepada realitas politik yang baru,” tegas Kobrin.
Humas UGM
Satria AN