BISNIS.COM, JAKARTA--Permohonan peninjauan kembali (PK) lebih dari satu kali dapat merusak tatanan sistem hukum pidana dan penyelenggaraan peradilan pidana, kata Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi, di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (15/5).
Saat memberikan keterangan pemerintah terhadap pengujian Pasal 268 ayat (3) UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP yang mengatur PK hanya dapat diajukan satu kali, ia mengatakan, permohonan PK lebih dari satu kali juga dapat memberatkan terpidana.
"Karena PK lebih dari dua kali akan melahirkan dua kemungkinan, yakni meringankan terpidana atau ahli warisnya atau yang memberatkan ahli warisnya," katanya.
Mualimin mengatakan kemungkinan putusan PK yang memberatkan pidana atau ahli warisnya tidak sesuai dengan semangat hukum dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 263 KUHAP serta melanggar konstitusi.
"Dalam praktek, korban umumnya akan memberikan keterangan kesaksian yang memberatkan, maka jika memiliki legal standing untuk mengajukan PK diduga juga akan mengajukan hal yang memberatkan bagi terpidana atau ahli warisnya," kata Mualimin.
Dia juga menegaskan bahwa pembatasan ini dimaksudkan untyuk memberikan kepastian hukum atas penyelesaian suatu perkara. "Sehingga seseorang tidak dengan mudahnya melakukan upaya hukum PK secara berulang-ulang."
Dia juga menegaskan pembatasan tersebut sejalan dengan proses peradilan yang berlarut-larut yang mengakibatkan berlarutnya upaya memperoleh keadilan. (Antara)
PERMOHONAN PK: Dua Kali Pengajuan Merusak Sistem Hukum
BISNIS.COM, JAKARTA--Permohonan peninjauan kembali (PK) lebih dari satu kali dapat merusak tatanan sistem hukum pidana dan penyelenggaraan peradilan pidana, kata Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi, di Mahkamah Konstitusi Jakarta,
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Konten Premium