BISNIS.COM, BALIKPAPAN--Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menduga antrian kendaraan yang terjadi di sejumlah SPBU untuk membeli solar disebabkan oleh kuota yang berada dibawah angka realisasi tahun sebelumnya.
Untuk Kalimantan, kuota BBM bersubsidi ditetapkan sekitar 3,697 juta kiloliter (kl) yang terbagi untuk empat provinsi yang ada.
Tercatat Kalimantan Timur (Kaltim) mendapatkan jatah terbesar yakni 658.372 kl premium dan 327.743 kl solar serta 36.236 kl kerosene.
Adapun, usulan kuota yang diajukan Kaltim kepada pemerintah pusat sebanyak 785.639 kl premium dan 442.065 kl solar.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kaltim Amrullah menyebutkan kuota yang telah diterima berada di bawah usulan tersebut.
Bahkan untuk solar, kuota yang diberikan tahun ini justru 2,74% lebih rendah dibandingkan dengan realisasi penyaluran pada 2012.
“Jadi, tidak heran kalau terjadi antrean kendaraan di SPBU karena memang lebih rendah dari angka realisasi penyaluran tahun lalu,” katanya ketika membacakan Sambutan Gubernur Kaltim dalam Sosialisasi Pengawasan dan Pengendalian Pendistribusian BBM Bersubsidi, Selasa (23/4/2013).
Dia menepis kemungkinan terjadinya penyelewengan BBM bersubsidi dalam jumlah besar oleh perusahaan pertambangan dan perkebunan, karena berdasarkan data pembelian BBM non subsidi menunjukkan peningkatan.
Meskipun, Amrullah mengakui ada informasi dari lapangan yang menyebutkan sulitnya mengidentifikasi kendaraan pertambangan atau perkebunan rakyat yang mengisi BBM di SPBU.
Ketiadaan stiker serta masih tingginya disparitas harga juga menjadi salah satu alasan masih adanya peluang untuk menyelewengkan BBM bersubsidi.
Akibatnya, Pertamina pun menerapkan kebijakan pengitiran atau penjatahan pada tiap SPBU agar kuota yang telah diberikan tersebut tidak terlampaui.
Perwakilan BPC Himpunan Swasta Nasional Pengusaha Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Balikpapan Abdulah menyebutkan kebijakan pengitiran ini sudah terjadi di Kalimantan sejak tiga tahun lalu.
Padahal, Abdulah mendapatkan informasi di daerah lain seperti Sulawesi dan Jawa kebijakan tersebut tidak diberlakukan.
“Mengapa kalau Kalimantan, penghematannya sampai sedemikian rupa. Harusnya, kalau memang diterapkan pengitiran ya harus secara serempak,” katanya.
Belum lagi, penjelasan kepada konsumen ketika sudah mengantri lama dan ternyata gagal mendapatkan BBM bersubsidi karena jatah harian SPBU telah habis.
Dia mengaku konsumen bahkan sampai turun dan mencek nozzle karena menduga pemilik SPBU menimbun BBM.
“Ini yang menyebabkan antrean panjang karena memang ada jatahnya sendiri masing-masing SPBU,” tukasnya.
Kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah, katanya, hendaknya juga dibarengi dengan pengawasan secara kontinyu di lapangan.
Selain itu, perlu juga dirinci tugas pokok dan fungsi masing-masing lembaga sehingga aturan ini tidak menimbulkan permasalahan ketika diterapkan di lapangan.
“Jadi, harus rinci dan detail karena kami yang di lapangan ini yang harus menanggung akibatnya,” tukasnya.
Komite BPH Migas Mayjend TNI (Purn) Karseno mengaku persiapan penerapan kebijakan tersebut ditargetkan bisa selesai akhir bulan.
Ketika seluruh infrastruktur telah siap, baru kemudian akan turun kebijakan baru mengenai BBM bersubsidi tersebut.
Dia menyebutkan pemisahan lokasi pembelian, antara kendaraan umum dan roda dua dengan kendaraan roda empat, bertujuan untuk memermudah pengawasan di lapangan.
Apabila ada penyelewengan, kerja sama dengan pemerintah daerah dan kepolisian menjadi salah satu solusi untuk menanggulangi hal tersebut. (wde)