BISNIS.COM, SURABAYA--Tingkat penghunian kamar hotel berbintang di Jawa Timur tercatat turun 18,45% pada Februari 2013.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim, tingkat penghunian kamar (okupansi) hotel pada Februari 2013 sebesar 40,97%, turun dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu sebesar 50,24%.
Selain itu, jumlah tersebut juga turun jika dibandingkan dengan okupansi pada Januari 2013 sebesar 41,72%.
Berdasarkan klasifikasi bintang, tingkat okupansi tertinggi dicapai oleh hotel bintang 5 sebesar 51,44%, disusul oleh hotel bintang 4 sebesar 41,97%, hotel bintang 3 sebesar 40%, hotel bintang 2 sebesar 38,87%, dan bintang 1 sebesar 28,35%.
Adapun rata-rata lama menginap tamu pada hotel berbintang selama Februari 2013 tercatat 1,49 hari, turun dari Februari 2012 1,74 hari. Angka tersebut juga lebih rendah dibandingkan dengan Januari 2013 yakni 1,71 hari.
Wakil Ketua I Perhimpunan Hotel&Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Timur Muhammad Soleh menilai penurunan tersebut terjadi salah satunya karena belum adanya event nasional maupun internasional yang diselenggarakan pada Februari 2013.
Selain itu, dia juga mengatakan siklus tingkat okupansi perhotelan biasanya memang akan rendah pada triwulan I yakni Januari hingga Maret.
“Ada beberapa faktor [terjadinya penurunan], salah satunya pencairan dana APBN dan APBD tahun ini lebih lambat dibandingkan dengan tahun lalu. Selain itu, event nasional dan internasional belum ada yang digelar, sedangkan tahun lalu Januari hingga Februari itu sudah ada,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Selasa (2/4/2013).
Dia mengatakan nilai okupansi sebesar 40,97% memang rendah, hal itu bisa dimaklumi karena secara rata-rata, kota di Jawa Timur yang paling banyak dikunjungi adalah Surabaya dan Malang.
“Kalau di Surabaya dan Malang rata-rata tingkat okupansi sekitar 60%, karena paling banyak dikunjungi. Sedangkan jika diambil rata-rata secara Jawa Timur memang terlihat rendah di kisaran 40%,” jelasnya.
Jika dilihat dari tujuannya, lanjut dia, sekitar 60% pengunjung ke Jawa Timur datang untuk wisata, sisanya 40% untuk kepentingan bisnis dan MICE (meeting, incentives, convention, and exhibitions).
“Sementara, kalau khusus Surabaya komposisi tujuannya terbalik, yakni 60% untuk bisnis dan MICE, dan 40% untuk wisata,” tambahnya.
Sebelumnya, Soleh mengatakan bisnis perhotelan di Jawa Timur, khususnya di Surabaya masih berpotensi untuk tumbuh. Hal tersebut juga dapat dilihat dari minat investor yang berencana membangun hotel di wilayah tersebut terus bertambah.
Untuk Surabaya, dia mencatat setidaknya akan ada 25 hotel baru yang dibangun sepanjang tahun ini.
Adapun untuk terus meningkatkan bisnis hotel agar tetap dikunjungi bahkan meningkatkan jumlah pengunjung, dia mengimbau agar manajemen hotel terus meningkatkan pelayanan dan fasilitas misalnya dengan melakukan inovasi dan renovasi kamar.(gia/yop)