BISNIS.COM, JAKARTA—Rencana pemerintah menunjuk langsung PT Hutama Karya (persero) untuk membangun dan mengelola jalan tol Trans Sumatera, dinilai cacat hukum dan menimbulkan potensi korupsi didalamnya.
Pasalnya, pembangunan proyek tanpa sistem tender itu, menyalahi aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Apalagi, nilai investasi proyek itu juga cukup besar.
Pemerintah sendiri, telah menunjuk PT Hutama Karya, untuk membangun dan mengelola proyek tol itu, menyusul perhitungan pemerintah jika ruas tol itu tidak layak secara finansial.
Direktur Pengembangan Centre for information Development Studies (CIDES) yang juga Dosen FISIP Universitas National Hilmi R Ibrahim mengatakan sistem penunjukkan langsung itu, melanggar Pasal 51 ayat 1 UU No38/2004 tentang jalan.
Dalam UU itu menyebutkan, Pengusahaan jalan tol yang diberikan oleh pemerintah kepada badan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 (4) dilakukan melalui pelelangan secara transparan dan terbuka.
Selain melanggar aturan UU, katanya, langkah itu juga melanggar tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan. Karena itu, dia mengusulkan agar prosesnya bisa ditender secara terbuka, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
"Apalagi, nantinya akan ada dukungan dana dari APBN. Karena itu, saya pikir ini langkah yang melanggar hukum," ujar Hilmi dalam acara Diskusi Publik bertema “Pro Kontra Penunjukkan Langsung Hutama Karya Sebagai Pembangun dan Pengelola Jalan Tol” yang diadakan oleh Institute For Public Trust hari ini, Rabu (13/3/2013).
Hilmi yang juga pengamat kebijakan publik itu mengatakan, kewenangan pemerintah untuk ruas ruas tol yang hanya layak secara ekonomi, namun secara keseluruhn belum layak secara finansial, adalah pemerintah melakukan pendanaan, perencanaan teknis, dan melaksanakan konstruksi.
Akan tetapi, operasional dan pemeliharaan dilakukan oleh Badan Usaha yang pemilihannya dilakukan melalui lelang, bukan penunjukkan langsung.
Dengan alasan tersebut, lanjutnya, rencana diterbitkannya peraturan presiden terkait penunjukkan PT Hutama Karya untuk pengusahaan jalan tol tidak boleh diterbitkan karena bertentangan dengan UU No.38/2004 dan peraturan pemerintah No.15/2005 tentang jalan.
Penunjukkan langsung itu, menurut Hilmi juga dinilai melanggar prinsip-prinsip efisiensi anggaran negara, dan menutup kesempatan BUMN lainnya atau konsorsium badan usaha lainnya yang sudah berpengalaman dalam membangun dan mengelola jalan tol.
Sementara itu, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Eman Sulaeman Nasim berpendapat, kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah tanpa proses tender sangat rawan akan penyelewengan.
Dia mengatakan jika langkah ini tetap dilanjutkan, bukan tidak mungkin muncul kasus seperti Century jilid II. "Ditambah lagi, saat ini mendekati pemilihan umum dan pemilihan presiden, dimana partai politik maupun dan partisipasian Pemilu dan pemilihan presiden membutuhkan dana yang amat besar," ujarnya.
Langkah ini akan menimbulkan kecurigaan publik yang akan menduga dana sebesar Rp5 triliun yang akan diambil dari APBN akan digunakan untuk kepentingan politik tersebut.
Karena itu, dia juga menghimbau pemerintah melaksanakan pola tender yang terbuka dan transparan untuk menghindari permasalahan-permasalahan yang bisa timbul kedepannya.