Beberapa pekan ini kita mengalami situasi yang berat. Belum selesai penanganan gempa Lombok, datang getaran dahsyat di Palu, Sulawesi Tengah. Di saat yang sama, tekanan terhadap nilai tukar rupiah belum juga berhenti, bahkan lebih kencang.
Dan di tengah upaya keras Bangsa Indonesia menangani dampak gempa Palu yang menelan ribuan jiwa, ada drama di Ibu Kota. Ratna Sarumpaetlah yang jadi pemain utama, didukung gerak sejumlah politisi. Peran Ratna terlihat sangat lengkap, dia membuat skenario, menyutradarai, dan jadi pemeran utamanya. Dramanya ditonton dan dikomentari secara nasional.
Sayangnya, drama yang dibuatnya enggak mutu, apalagi di tengah upaya untuk mengarahkan energi terbaik membantu saudara-saudara kita di Palu dan sekitarnya. “Saya pencipta hoaks terbaik yang menghebohkan sebuah negeri,” kata Ratna dalam sebuah konferensi pers beberapa waktu lalu.
Anda pasti sudah membaca atau melihat lengkap kisah aktivis kelahiran Tarutung, Sumatra Utara, 70 tahun lalu itu. Kisahnya mungkin lucu, menggemaskan, dan bagi sebagian orang cukup menggembirakan bahwa pada akhirnya akhir drama itu bisa dinikmati bersama. Jika kisah itu imajinasi seorang cerpenis, mungkin ia sudah jadi salah satu penulis favorit karena bisa menarasikan hal-hal yang penuh dengan paradoks dan satir.
Di sisi lain, justru rekan-rekannya sendiri yang merasa kaget dan syok, barangkali juga malu lantaran terlanjur ikut menyebarkan hoaks lewat media sosial. Ratna Sarumpaet tidak membuat luka lawan-lawan politiknya, tapi menusuk kelompoknya sendiri.
Penulis naskah drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah (1997) itu memang sudah mengakui kesalahannya dan minta maaf, tetapi perilaku senang menyebar hoaks sebenarnya masih tetap tertanam di sebagian anggota masyarakat. Fenomena hoaks itu bahkan semakin menjadi-jadi pada saat terjadi bencana.
Baca Juga
Betapa kita tak habis pikir, di saat saudara sedang mengalami musibah, ternyata ada orang-orang yang dengan gembira membuat dan atau menyebarkan kabar bohong, entah dengan motivasi apa. Dari pengalaman berbagai bencana yang melanda, hoaks terbukti menjadi satu irama, menyebar di tengah kekhawatiran yang sedang meninggi.
Hoaks adalah bencana sosial yang diciptakan oleh orang-orang yang hambar rasa kemanusiaannya.
Setiap hari kita dilanda bencana hoaks dalam intensitas berbeda-beda. Episentrum bencana hoaks bukan saja di tangan pencipta, tapi juga di jempol orang-orang yang sengaja menyebarkannya untuk membuat kegaduhan.
Contoh saja, pengguna Facebook Martha Margaretha pada 24 Agustus lalu memposting konten berita hoaks, berisi berita gempa Megatrust Pulau Jawa dan sangat mungkin terjadi di Jakarta diperkirakan berkekuatan 8,9 SR. Martha sudah diringkus polisi karena postingan yang meresahkan itu.
Ada juga Ade Irma yang ditangkap di Jeneponto, pada 2 Oktober 2018, lantaran memposting tulisan Bendungan Bili-Bili retak disebabkan gempa Palu pada 28 September. Ada banyak lagi daftar hoaks yang disebarkan dikaitkan dengan peristiwa bencana alam.
Drama Ratna maupun hoaks terkait dengan bencana yang meresahkan itu tentu juga bisa menjadi pelajaran berharga soal bagaiamana kita harus lebih bijak bersikap. Apalagi, posisi geografis Indonesia di jalur cincin api atau ring of fire yang tentu menyebabkan banyak bencana alam. Jangan sampai, kita juga dikelilingi oleh para pembuat hoaks yang menyebabkan bencana sosial.
Kita apresiasi langkah polisi menangkap para penyebar hoaks terkait dengan bencana alam di Indonesia, semoga jadi pelajaran penting. Sebelum Anda gunakan kebebasan berpendapat, gunakanlah kebebasan berpikir untuk menganalisis informasi yang masuk.
Lebih dari 14 abad yang lalu, kitab suci umat Muslim sudah mengingatkan soal bahya menyebarkan kebencian dan aib orang lain, juga bahaya fitnah ataupun kabar bohong. Alquran surat al-Hujurat ayat 12 misalnya, mengingatkan bagi mereka yang suka menggunjing dan menyebarkan kebencian dan aib orang lain, diibaratkan orang yang memakan bangkai temannya sendiri.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
Sementara itu, surat al-Baqarah ayat 191 mengingatkan kepada kita soal bahaya fitnah: "... dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan."
Dan tentu saja kita harus mengingat ini: "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." ( Al-Hujarat [49]: 6)
Semua dalil-dalil itu tentu tidak cukup untuk menangkal hoaks yang meresahkan dan kerap menjadi sumber perpecahan. Permerintah sendiri menegaskan larangan menebar kabar bohong lewat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, khusunya Pasal 28 ayat 1. Ancamannya, 6 tahun kurungan penjara dan denda Rp1 miliar.
Semoga kita dijauhkan dari bencana hoaks.