Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mangkir, Setya Novanto Dianggap Tak Paham UU MD3

Tindakan Setya Novanto yang mangkir dari pemeriksaan KPK pada dasarnya menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakmengertian dalam memahami UU MD3.
Ketua DPR Setya Novanto/Antara-Hafidz Mubarak
Ketua DPR Setya Novanto/Antara-Hafidz Mubarak

Kabar24.com, JAKARTA - Tindakan Setya Novanto yang mangkir dari pemeriksaan KPK pada dasarnya menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakmengertian dalam memahami UU MD3, demikian dikemukakan Bayu Dwi Anggono, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Jember.

Dia mengatakan pihak yang beranggapan Setya Novanto tidak dapat diperiksa tanpa izin Presiden tidak memahami UU No.17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) serta perkembangan ketatanegaraan pasca adanya Putusan MK pada 2015 yang lalu.

“Saat ini pasal yang mengatur mengenai prosedur dalam hal anggota DPR menghadapi pemeriksaan aparat penegakan hukum karena melakukan tindak pidana adalah Pasal 245 UU MD3 yang oleh Mahkamah Konstitusi Melalui telah diberikan pengertian atau makna baru,” ujarnya pada Senin (6/11/2017).

Dia menambahkan jika sebelum adanya putusan MK tersebut pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), maka setelah adanya putusan MK persetujuan tertulis dari MKD diganti dengan persetujuan tertulis dari Presiden.

Artinya, menurut dia, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana setelah adanya Putusan MK ini harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.

Namun demikian, menurut MK apabila Presiden tidak memberikan persetujuan tertulis paling lama 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, maka pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan tetap dapat dilakukan.

Artinya persetujuan tertulis Presiden tidak bisa dijadikan alat untuk mangkir atau menunda dilakukannya penyidikan. Hal ini dalan rangka mewujudkan proses hukum yang berkeadilan serta menjamin kepastian hukum.

“Pasal 245 UU MD3 pascaputusan MK mengatur persetujuan tertulis Presiden diperlukan hanya untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana. Jadi, untuk pemanggilan oleh aparat penegak hukum seperti kepolisian, KPK, dan pengadilan yang ditujukan kepada anggota DPR sebagai saksi perkara pidana tentu tidak memerlukan persetujuan tertulis menjadi saksi,” ungkapnya.

Dengan demikian, lannjutnya, tidak bisa anggota DPR menolak hadir dipanggil aparat penegak hukum sebagai saksi karena alasan belum ada izin tertulis Presiden karena memang hal demikian tidak diperlukan.

Lagipula, ujarnya, Pasal 245 ayat 3 UU MD3 masih tetap berlaku menjadi satu kesatuan makna dengan Pasal 245 ayat (1), Pasal 245 ayat (3) UU MD3 isinya kewajiban meminta persetujuan tertulis kepada Presiden untuk memeriksa anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tidak berlaku apabila anggota DPR yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau disangka melakukan tindak pidana khusus.

“Dengan demikian, pemeriksaan anggota DPR sebagai tersangka tindak pidana korupsi yang masuk tindak pidana khusus tidak perlu persetujuan tertulis Presiden,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper