Kabar24.com, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto melontarkan pernyataan keras tentang presidential threshold (PT) 20% pada Undang-undang Pemilu.
Dengan nada tegas dia menyebut pasal tersebut telah menipu rakyat. Jika merujuk pada pasal tersebut, maka partai politik atau gabungan partai politik hanya bisa mengajukan calon presiden bila memiliki 20% kursi di parlemen atau meraih 25% suara secara nasional.
"Presidential threshold adalah lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia," ujar Prabowo usai bertemu Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di kediaman SBY, Puri Cikeas, Bogor, Kamis (27/7/2017) malam.
Fraksi Partai Gerindra, kata Prabowo, memutuskan menolak presidential threshold, karena tidak ingin merusak demokrasi. Atas pertimbangan itulah, Gerindra memilih tidak terlibat dalam pengesahan UU Pemilu.
"Kita tidak mau ikut bertanggung jawab, tidak mau ditertawakan sejarah. Silakan berkuasa hingga 10 tahun, 20 tahun, namun di ujungnya sejarah yang menilai," ujar Prabowo.
Menanggapi pertemuan SBY-Prabowo, pengamat politik LIPI Siti Zuhro menilai tidak ada yang salah dengan pertemuan itu kaena pemilu 2019 yang berlangsung serentak menbuat partai-partai harus melakukan penjajakan lebih awal untuk menentukan koalisi.
Baca Juga
Dia menilai pelaksanaan pemilu secara serentak dalam memilih anggota DPR, DPD, DPRD dan presiden dalam waktu yang sama merupakan yang pertama kali di Indonesia. Dengan demikian partai harus merespons dengan mulai melakukan penjajakan.
Berbeda dengan pemilu legislatif dan pilpres 2014 lalu, menurut Siti, partai politik lambat dan cenderung memutuskan berkoalisi mendekati masa pemilihan.
Meski demikian, dinamika politik di Indonesia yang masih sangat cair membuat kerja sama atau koalisi partai yang terjadi saat ini bisa berubah, ujarnya.
Menurut Siti, koalisi yang terjadi antara partai pendukung pemerintah juga masih bisa berubah, tetapi partai tetap harus berkoalisi, jika tidak ada perubahan UU Pemilu yang telah digugat ke MK.