Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perjanjian Damai Dibatalkan, United Coal Dinyatakan Pailit

United Coal Indonesia jatuh dalam kepailitan karena tidak mampu menunaikan kewajiban pembayaran utang yang sebelumnya tertuang dalam proposal perdamaian.
PT United Coal Indonesia. /unitedcoal
PT United Coal Indonesia. /unitedcoal

Bisnis.com, JAKARTA—United Coal Indonesia jatuh dalam kepailitan karena tidak mampu menunaikan kewajiban pembayaran utang yang sebelumnya tertuang dalam proposal perdamaian.

Hal itu seiring dengan dikabulkannya permohonan pembatalan perdamaian yang diajukan oleh dua kreditur United Coal Indonesia (UCI).

“Menyatakan termohon dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya,” ujar Hakim Ketua Titik Tedjaningsih dalam amar putusannya, Selasa (25/11/2015).

Adapun dua kreditur yang melayangkan permohonan pembatalan perdamaian adalah PT GMT Indonesia dan PT Palaran Indah Lestari. Keduanya adalah kreditur konkuren dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) UCI.

Dikabulkannya permohonan tersebut lantaran dalam persidangan, UCI telah terbukti lalai menjalankan perjanjian perdamaian. Hal itu juga diakui UCI dalam persidangan.

“Termohon mengakui tidak membayar utangnya karena sudah tidak berproduksi,” ungkap majelis hakim. Majelis menilai, pengakuan di persidangan adalah alat bukti yang sempurna dan tidak terbantahkan lagi.

Permohonan pembatalan perdamaian diatur dalam Pasal 170 Undang-Undang No. 34/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pasal tersebut menyatakan kreditur dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila debitur lalai memenuhi isi perdamaian tersebut.

Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengangkat Kisworo selaku hakim pengawas dalam proses kepailitan ini. Selain itu, diangkat juga sejumlah kurator, di antaranya Andre Sitanggang, Rio Ferry Sihombing, dan Vichung Congsong.

Andre Sitanggang adalah pengurus dalam PKPU UCI. Diangkatnya Andre sebagai kurator karena Andre dianggap sudah memahami kondisi debitur dan kreditur.

Ditemui usai persidangan, kuasa hukum termohon kuasa hukum UCI Bayu Putra W mengatakan pihaknya menerima putusan majelis hakim tersebut. Terkait adanya hak untuk menempuh jalur hukum yang lebih tinggi, Bayu menyatakan masih akan membicarakan hal itu kepada kliennya.

Sebelumnya, UCI mengaku mengalami kesulitan melakukan pembayaran utang sesuai proposal perdamaian yang telah dihomologasi pada 14 Januari 2015 itu. Kuasa hukum UCI yang lainnya Djamalludin mengatakan tidak adanya investor membuat kliennya tertatih-tatih menyelesaikan utang kepada seluruh kreditur.

“Kami ingin menyelesaikan utang, tapi di sisi lain, kami juga memang sedang kesulitan,” ungkapnya.

Status penundaan kewajiban pembayaran utang yang disandang UCI pun merupakan permohonan yang diajukan sendiri secara sukarela. Hal itu sebagai bentuk perlawanan terhadap permohonan pailit dari CV Exsiss Jaya dan CV Satria Dura Perdana kepadanya. Kedua perusahaan itu memiliki piutang Rp103, 81 juta dan Rp116,13 juta kepada UCI.

Dalam proses PKPU, UCI tercatat memiliki 68 kreditur konkruen dengan total tagihan Rp70,39 miliar dan satu kreditur separatis, yakni Bank Mandiri dengan nilai tagihan Rp880 miliar.

Saat debitur menyampaikan proposal perdamaian, sebanyak 63 kreditur dengan jumlah suara 5.616 dan mewakili tagihan sebesar Rp56,16 miliar menyetujui proposal tersebut dengan persentase suara mencapai 80%. Adapun, lima kreditur lainnya dengan jumlah suara 1.424 dan total tagihan Rp14,23 miliar menolak.

Sembilan bulan setelah proposal perdamaian ditetapkan, PT GMT Indonesia dan PT Palaran Indah Lestari malah melayangkan permohonan pembatalan homologasi di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Dalam proposal perdamaian yang telah dihomologasi tersebut UCI menawarkan pembayaran tagihan kepada para kreditur konkurennya dengan membayarkan Rp20 juta di awal. Selanjutnya, sisanya dicicil mulai Juli 2015 sebesar 12,5% setiap bulannya dan berakhir pada Januari 2017 atau satu tahun lebih.

Kuasa hukum para pemohon Sarah Lasmaria Hutabarat mengemukakan kliennya sempat menerima pembayaran sebesar Rp20 juta, tetapi hanya sekali dan setelah itu tidak ada pembayaran lagi. Itu sebabnya pihaknya memutuskan untuk mengajukan permohonan pembatalan perdamaian. Terlebih, menurut Sarah, debitur terlihat sudah kesulitan untuk meneruskan kegiatan usahanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper