Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

UJI MATERI UU HAK CIPTA: Penggunaan Kartu Sistem Jaminan Sosial Digugat

Pemerintah Indonesia meragukan kalau Private Social Card (Priscard) adalah ciptaan pemohon uji materi Undang-undang Hak Cipta yang telah diambil alih tanpa izin oleh pemerintah melalui program jaminan sosial.
Dewan Jaminan Nasional Indonesia (DJNI) menyusun integrasi antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan dengan target satu peserta hanya memiliki satu kartu yang berisikan kedua fasilitas perlindungan sosial, ditargetkan mulai terealisasi pada 1 Juli 2015./Ilustrasi-Antara
Dewan Jaminan Nasional Indonesia (DJNI) menyusun integrasi antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan dengan target satu peserta hanya memiliki satu kartu yang berisikan kedua fasilitas perlindungan sosial, ditargetkan mulai terealisasi pada 1 Juli 2015./Ilustrasi-Antara

Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah Indonesia meragukan kalau Private Social Card (Priscard) adalah ciptaan pemohon uji materi Undang-undang Hak Cipta yang telah diambil alih tanpa izin oleh pemerintah melalui program jaminan sosial.

Seperti dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi pada Sabtu (30/5/2015), Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly Yasonna mempertanyakan apakah pemohon benar merupakan pencipta Priscard yang digunakan oleh pemeritah.

“Apakah program Jamsostek dan ciptaan yang dibuat pemohon hanya merupakan kesamaan ide, namun memiliki ekspresi yang berbeda konstitusi sesuai dengan prinsip dasar hak cipta yaitu bahwa hak cipta tidak melindungi ide atau gagasan namun ekspresi dari ide,” ujar Yasonna seperti dibacakan oleh perwakilannya Wicipto Setiadi dalam persidangan.

Menurut pemerintah, jika dua pihak memiliki ide atau gagasan yang sama namun dengan ekspresi atau wujud ciptaan yang berbeda, maka ciptaan kedua pihak tersebut dilindungi dan prinsip ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Sebelumnya, pencipta sebuah kartu santunan sosial bernama Priscard, Bernard Samoel Sumarauw menjelaskan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 51 ayat (1) UU Hak Cipta.

Pasal itu berbunyi “Pemerintah dapat menyelenggarakan Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi atas suatu ciptaan melalui radio, televisi dan/atau sarana lain untuk kepentingan nasional tanpa izin dari Pemegang Hak Cipta dengan ketentuan wajib memberikan imbalan kepada Pemegang Hak Cipta”.

Ia menganggap frasa “Pemerintah menyelenggarakan atas suatu ciptaan untuk kepentingan nasional” mempunyai pemahaman yang multi tafsir.

“Yang menjadi hak cipta saya, yaitu ada kaitannya dengan program jaminan sosial. Sedangkan program saya ini berbenturan dengan ciptaan pemerintah yang terkait dengan program jaminan sosial itu. Sehingga kalau seandainya saya ajukan gugatan ke pengadilan niaga, saya akan terbentur dengan pasal yang ada di dalam Undang-Undang Hak Cipta tersebut yang menyatakan ‘ciptaan pemerintah tidak perlu mendapatkan izin’,” papar pemohon saat sidang pendahuluan.

Pemerintah menilai, jika pemohon menganggap hak ciptanya telah dilanggar harus dibuktikan terlebih dahulu, apakah benar ciptaan pemohon memiliki persamaan ekspresi atau memiliki wujud perlindungan ciptaan yang sama.

“Terhadap penyelesaian sengketa tersebut masuk dalam ranah penyelesaian sengketa perdata dan alternatif penyelesaian sengketa,” ungkap Wicipto.

Dia mengutarakan, jika benar terbukti pemerintah menggunakan karya pemohon, maka pemerintah wajib membayar imbalan, namun jika tidak, maka pemerintah tidak perlu membayar imbalan. Menurutnya, penggunakan itu untuk kepentingan nasional, sehingga pemerintah tidak perlu meminta izin pemilik hak cipta.

Sementara itu, DPR melalui perwakilannya Didi Mukrianto menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal yang dipersoalkan merupakan pembatasan terhadap hak eksklusif pemegang hak cipta.

DPR beranggapan penggunaan kekayaan intelektual demi kepentingan umum atau kepentingan nasional merupakan pengecualian dan tidak merupakan pelanggaran terhadap kepentingan pemegang hak cipta.

“Dengan persyaratan tertentu, kepentingan umum atau nasional lebih diutamakan daripada kepentingan pemegang hak,” terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper